Rabu, 28 Januari 2009

Ya Allah, jika aku jatuh cinta...


Ya Allah…
Jika aku jatuh cinta,
cintakanlah aku pada seseorang yang melabuhkan cintanya pada-Mu,
agar bertambah kekuatanku untuk mencintai-Mu

Ya Allah…
Jika aku jatuh hati,
izinkan aku menyentuh hati seseorang yang hatinya tertaut pada-Mu,
agar tidak terjatuh aku dalam jurang cinta semu.

Ya Rabbul Izzati…
Jika aku rindu,
rindukanlah aku pada seseorang yang merindui syahid di jalan-Mu

Ya Allah…
Jika aku menikmati cinta kekasih-Mu,
janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan indahnya bermunajat
di sepertiga malam terakhir-Mu.

Ya Allah…
Jika aku jatuh hati pada kekasih-Mu,
jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh
dalam perjalanan panjang menyeru manusia kepada-Mu.

Ya Allah…
Engkau mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu,
telah berjumpa pada taat pada-Mu,
telah bersatu dalam dakwah pada-Mu,
telah berpadu dalam membela syariat-Mu.
Kokohkanlah ya Allah ikatannya,
kekalkanlah cintanya,
tunjukilah jalan-jalannya,
penuhilah hati-hati ini dengan nur-Mu yang tiada pernah pudar.

Tetaplah Tegar agar Kau Dicintai

Publikasi: 23/03/2005 11:38 WIB
Bagi para wanita, menjalani kehidupan sebagai istri dan ibu adalah berarti menjalankan sebuah peran besar dengan segala tuntutannya. Seketika ia menikah, maka saat itu pula segala kesenangan serta kesusahan ditanggung bersama. Masa-masa indah di awal pernikahan, mungkin belum mendatangkan berbagai cobaan yang sebenarnya akan menguatkan ikatan cinta serta pula keimanan pada sepasang suami istri. Namun ada pula mereka yang sejak awal harus melewati sekian rintangan demi mengukuhkan tekad menggenapkan setengah dien.

Tak sedikit kita mendapati cerita-cerita seputar lika-liku rumah tangga, yang kadang membuat hati miris dan bahkan bisa jadi menyebabkan ‘ketakutan’ bagi mereka yang belum menikah. Takut akan mengalami kesulitan yang dialami oleh si fulanah, khawatir tak akan sanggup menghadapi cobaan seperti yang dihadapi fulanah yang lain. Dan akhirnya berhari-hari mengukur diri, kapankah saat yang tepat menyatakan diri siap untuk menikah. Kemudian, mereka-reka kesanggupan bila harus mengalami peristiwa ini-itu yang dialami oleh mereka yang telah bercerita banyak.

Sesungguhnya, bagi setiap perjalanan hidup berumah-tangga, pastilah terdapat berbagai hal yang sebenarnya akan menguji setiap jenak kesadaran kita untuk memperjuangkan ikatan suci ini. Baik itu berupa kesenangan dan kemudahan yang Allah berikan, maupun ujian kesulitan yang mendera, hingga itu akan menguji kemampuan diri dalam hal keberanian untuk bertahan serta menghadapi segala tantangan yang ada. Bukan bersikap menghindar, atau menyerah begitu saja. Tentu saja, Allah Yang Maha Pemurah tak akan memberikan ujian di luar dari kesanggupan hamba-Nya. Bukankah itu satu hal yang harus selalu kita ingat? Sehingga tak ada kata menyerah atau menyalahkan siapapun serta mengeluh berkepanjangan saat ujian itu tiba pada diri kita.

Kadang, seorang istri harus menghadapi kenyataan sulitnya mengatasi masalah keuangan keluarga. Seorang suami yang tidak bekerja; oleh sebab di-PHK atau belum mendapat pekerjaan, sedangkan kebutuhan sehari-hari harus dipenuhi. Apalagi kebutuhan itu akan terus bertambah dengan hadirnya si buah hati, ataupun kewajiban menafkahi orang tua dan saudara kandung yang masih harus ditanggung.



Ada pula yang mengeluhkan dirinya yang selalu berkonflik dengan anggota keluarga sendiri maupun dari pihak suami. Kasur yang empuk, rumah yang mewah, serta harta berlimpah mungkin akan terasa tak memuaskan bila harus menghadapi perilaku tak menyenangkan yang diterima dari sanak saudara, dengan sebab apapun.

Belum lagi masalah anak-anak yang sakit, kesulitan belajar, kecelakaan kecil yang terjadi, pengalaman tak menyenangkan di sekolah, biaya berobat, naiknya uang SPP, les tambahan, dan banyak lagi hal yang akan menambah sesak beban pikiran seorang ibu.

Bagaimanapun, senyum manis serta kasih sayang itu haruslah selalu tercurahkan, bagi mereka yang tercinta-suami dan anak-anak. Disadari atau tidak, seorang istri dan ibu adalah sebuah sumber kekuatan cinta yang akan menambah energi bagi mereka setiap hari. Sikap santun dan sebuah kecupan setiap pagi akan menyemangati si suami yang akan memulai hari. Peluk erat, belaian lembut serta ciuman sayang akan menebarkan rindu bagi anak-anak hingga mereka tak sabar ingin bertemu kembali dengan bunda tercinta sepulang sekolah. Bagaimanapun, perilaku yang disuguhkan dalam bentuk apapun, adalah sebuah ‘saham’ yang sedang ditanamkan kepada diri anggota keluarga kita. Yang akan mereka bawa dalam benak mereka sepanjang hari, dan mungkin akan diingat sepanjang waktu.

Saham yang baik, akan berbuah kesegaran serta semangat bagi mereka untuk terus berjuang dalam menjalankan peran-peran mereka di luar rumah. Berprestasi dan berbuat sebaik mungkin di sekolah dan di tempat kerja. Mengerjakannya dengan sepenuh jiwa sambil berdoa untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Sebab ada seseorang di rumah yang menunggu dengan senyum termanis yang akan menyambut pulang dengan dekapan hangat dan kedua pasang telinga yang siap mendengarkan setiap curahan hati.

Sebaliknya, seorang istri dan ibu dengan berbagai permasalahannya, bisa jadi akan melemparkan sikap tertentu kepada anggota keluarga. Melampiaskan rasa marah pada anak, mengungkit-ungkit masalah keluarga pada suami, berdiam diri sepanjang hari sambil memendam kekesalan, atau mencari penyegaran di luar rumah hingga lupa waktu pulang, bahkan sampai membengkalaikan kewajibannya di rumah.

Memang tidaklah bisa memaksakan diri menjadi ‘super woman’ dan menjalani segala sesuatunya dengan sempurna. Namun tak bisa dielakkan, bahwa setiap sikap yang kita pilih untuk dilakukan, tak hanya akan memberikan pengaruh terhadap diri sendiri, melainkan juga terhadap mereka yang kita cintai. Ingatlah, bahwa ‘saham’ yang kita tanam hari ini, bisa jadi akan menghasilkan buahnya bertahun-tahun mendatang, kala kita telah lupa akan apa yang telah kita perbuat. Saat anak-anak telah beranjak dewasa, saat masing-masing suami dan istri telah bertambah usia, saat segala yang dirasakan kini akan berubah menjadi kenyataan yang lain.

Inginkah kita memiliki keluarga yang selalu bersemangat dalam tiap aktivitasnya? Yang selalu melakukan dan mempersembahkan yang terbaik bagi dirinya, keluarga, serta Rabb-nya. Yang dapat bangkit kembali setelah lelah-letihnya. Yang tak menghentikan ikhtiar serta doa, dan meyakini bahwa Allah akan menetapkan sesuatu yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya.

Jadilah semangat itu, sehingga ia akan tertularkan kepada orang-orang terkasih. Pilihlah sikap terbaik untuk disuguhkan pada mereka, dan kebaikan akan selalu memenuhi tiap ruang hati mereka dan pun keridhoan Allah akan selalu menyertai.

Kesulitan yang dihadapi, adalah ujian bagi daya tahan diri untuk melewatinya, serta momen penting untuk menguji tingkat keimanan yang telah diraih.

Menjadilah engkau seperti Khadijah, yang setia mendampingi sang Rasul saat kapanpun ada suka maupun duka. Ia lah yang pertama kali memberikan rengkuhan kekuatan baginya kala dibutuhkan, ia lah sokongan bagi setiap celah jihadnya. Ia lah yang pantas untuk paling dicintai, dan namanya pun terukir mengalahkan bidadari.

[hadiah untuk mama, dan tante-tante tersayang]
dh_devita@yahoo.com

Menikah, Bukan Sekedar Memadu Cinta


Publikasi: 06/04/2005 08:43 WIB
eramuslim - "Rumahku surgaku", ujar Rasulullah singkat saat salah seorang sahabat bertanya mengenai rumah tangga beliau. Sebuah ungkapan yang tiada terhingga nilainya, dan tidak dapat diukur dengan parameter apapun. Sebuah idealisme yang menjadi impian semua keluarga. Tapi untuk mewujudkannya pada sebuah rumah tangga (keluarga) ternyata tidaklah mudah. Tidak seperti yang dibayangkan ketika awal perkenalan atau sebelum pernikahan. Butuh proses, butuh kesabaran, butuh perjuangan, bahkan pengorbanan juga ilmu!

Saat ini, persoalan dalam keluarga membuat banyak pasangan suami istri dalam masyarakat kita menjadi gamang. Baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Wajar, karena itulah hakikat hidup. Bukan hidup namanya jika tanpa masalah. Justru masalah yang membuat manusia bisa merasakan kesejatian hidup, menjadikan hidup lebih berwarna dan tidak polos seperti kertas putih yang membosankan. Namun jangan sampai masalah-masalah itu mengendalikan diri kita hingga kita kehilangan hakikat hidup.

Lihatlah sepanjang tahun lalu, tahun 2004, begitu banyak pasangan yang mengajukan perceraian ke pengadilan agama dengan berbagai macam alasan. Memang yang lebih banyak terangkat adalah kisah rumah tangga para selebritis yang tak henti menghiasi layar kaca tentang rusaknya hubungan rumah tangga mereka. Tapi sesungguhnya itu hanya puncak sebuah gunung es. Karena masyarakat awam pun tak sedikit yang rumah tangganya bermasalah, bahkan mereka yang mendapat sebutan aktivis dakwah.



Begitu banyak buku-buku pernikahan yang beredar di pasaran, bahkan sebagian menjadi best seller. Tak hanya buku-buku non fiksi, bahkan para fiksionis pun lebih senang mengangkat tema–tema merah jambu karena lebih disukai pasar. Isinya kebanyakan bersifat provokatif kepada orang-orang yang belum menikah agar segera menikah. Namun sayangnya hampir semua buku-buku itu isinya terlalu melangit.

Maksudnya lebih banyak menceritakan pernikahan (kehidupan rumah tangga) pada satu sisi yang indah dan menyenangkan. Sementara sisi "gelap" pernikahan jarang sekali yang mengangkat. Tentang kehidupan setelah pernikahan, tentang biaya-biaya berumah tangga, dan hal-hal lain yang tentu tidak sepele dalam rumah tangga.

Isitrahatlah sejenak dari bermimpi tentang pernikahan. Jika mimpi itu hanya berisi bagaimana mengatasi rasa gugup saat akad nikah. Atau tumpukan kado dan amplop warna-warni menghiasi 'bed of roses'. Atau kalau hanya mengharap salam indah dan atau jawaban salam dari kekasih. Apalagi membayangi bisa menatap, berbicara dan menghabiskan waktu bersama belahan hati tercinta.

Pernikahan tidak cuma sampai di situ, sobat. Ada banyak pekerjaan dan tugas yang menanti. Bukan sekedar merapihkan rumah kembali dari sampah-sampah pesta pernikahan, karena itu mungkin sudah dikerjakan oleh panitia. Bukan menata letak perabotan rumah tangga, bukan juga kembali ke kantor atau beraktifitas rutin karena masa cuti habis.

Tapi ada hal yang lebih penting, menyadari sepenuhnya hakikat dan makna pernikahan. Bahwa pernikahan bukan seperti 'rumah kost' atau 'hotel'. Di mana penghuninya datang dan pergi tanpa jelas kapan kembali. Tapi lebih dari itu, pernikahan merupakan tempat dua jiwa yang menyelaraskan warna-warni dalam diri dua insan untuk menciptakan warna yang satu: warna keluarga.

Di tengah masyarakat yang kian sakit memaknai pernikahan, semoga kita tetap memiliki sudut pandang terbaik tentangnya. Betapa banyak orang yang menikah secara lahir, tapi tidak secara batin dan pikiran. Tidak sedikit yang terjebak mempersepsikan pernikahan sebatas cerita roman picisan dan aktifitas fisik. Hingga wajar jika banyak remaja yang belum menikah saat mendengar kata menikah adalah kesenangan dan kenikmatan. Hal itu ditunjang oleh buku-buku pernikahan yang isinya ngomporin. Sementara sesungguhnya yang harus dilakoni adalah tanggung jawab dan pengorbanan.

Memang pernikahan berarti memperoleh pendamping hidup, pelengkap sayap kita yang hanya sebelah. Tempat untuk berbagi dan mencurahkan seluruh jiwa. Tapi jangan lupa bahwa siapapun pasangan hidup kita, ia adalah manusia biasa. Seseorang yang alur dan warna hidup sebelumnya berbeda dengan kita. Seberapa jauh sekalipun kita merasa mengenalnya, tetapakan banyak 'kejutan' yang tak pernah kita duga sebelumnya. Upaya adaptasi dan komunikasi bakal jadi ujian yang cuma bisa dihadapi dengan senjata kesabaran.

Pasangan kita, yang kita cintai adalah manusia biasa. Dan ciri khas makhluk bernama manusia adalah memiliki kekurangan dan kelemahan diri. Memahami diri sendiri sebagai manusia sama pentingnya dengan memahami orang lain sebagai manusia. Pemahaman ini penting untuk dijaga, karena cepat atau lambat kita akan menemukan kekurangan atau kebiasaan buruk pasangan kita.

Oleh karena itu, bagi yang belum menikah, jangan terlalu banyak menghabiskan waktu dengan memilih pasangan hidup saja. Apalagi parameternya tak jauh dari penampilan, fisik, encernya otak, anak orang kaya, pekerjaan mapan, penghasilan besar, berkepribadian (mobil pribadi, rumah pribidi), berwibawa (wi...bawa mobil, wi...bawa handphone, wi...bawa laptop), dan sebagainya.

Tapi, pernahkah kita berpikir untuk membantu seseorang yang ingin mengembangkan dirinya ke arah yang lebih baik hari demi hari bersama diri kita?

Lebih dari itu, pernikahan dalam konteks dakwah merupakan tangga selanjutnya dari perjalanan panjang dakwah membangun peradaban ideal dan tegaknya kalimat Allah. Namun tujuan mulia pernikahan akan menjadi sulit direalisasikan jika tidak memahami bahwa pernikahan dihuni oleh dua jiwa. Setiap jiwa punya warna tersendiri, dan pernikahan adalah penyelarasan warna-warna itu. Karenanya merupakan sebuah tugas untuk bersama-sama mengenali warna dan karakter pasangan kita. Belajar untuk memahami apa saja yang ada dalam dirinya. Menerima dan menikmati kelebihan yang dianugerahkan padanya. Pun membantu membuang karat-karat yang mengotori jiwa dan pikirannya.

Menikah berarti mengerjakan sebuah proyek besar dengan misi yang sangat agung: melahirkan generasi yang bakal meneruskan perjuangan. Pernahkan terpikir betapa tidak mudahnya misi itu? Berawal dari keribetan kehamilan, perjuangan hidup mati saat melahirkan, sampai kurang tidur menjaga si kecil? Ketika bertambah usia, kadang ia lucu menggemaskan tapi tak jarang membuat kesal. Dan seterusnya hingga ia beranjak dewasa, belajar berargumentasi atau mempertentangkan idealisme yang orangtuanya tanamkan. Sungguh, tantangan yang sulit dibayangkan jika belum mengalaminya sendiri...

Menikah berarti berubahnya status sebagai individu menjadi sosial(keluarga). Keluarga merupakan lingkungan awal membangun peradaban. Dan tentu sulit membangun peradaban jika kondisi 'dalam negeri' masih tidak beres. Maka butuh keterampilan untuk memanajemen rumah tangga, menjaga kesehatan rumah dan penghuninya, mengatur keuangan, memenuhi kebutuhan gizi, menata rumah, dan masih banyak lagi keterampilan yang mungkin tak pernah terpikirkan...

Ini bukan cerita tentang sisi "gelap" pernikahan (wong saya sendiri belum nikah!). Tapi seperti briefing singkat yang menyemangati para petualang yang bakal memasuki hutan belantara yang masih perawan. Yang berhasil, bukan mereka yang hanya bermodal semangat. Tapi mereka yang punya bekal ilmu, siap mental dan tawakkal kepadaNYA. Karena pernikahan bukanlah sebuah keriaan sesaat, namun ia adalah nafas panjang dan kekuatan yang terhimpun untuk menapaki sebuah jalan panjang dengan segala tribulasinya.

Pernikahan adalah penyatuan dua jiwa yang kokoh untuk menghapuskan pemisahan. Kesatuan agung yang menggabungkan kesatuan-kesatuan yang terpisah dalam dua ruh. Ia adalah permulaan lagu kehidupan dan tindakan pertama dalam drama manusia ideal. Di sinilah permulaan vibrasi magis itu yang membawa para pencinta dari dunia yang penuh beban dan ukuran menuju dunia mimpi dan ilham. Ia adalah penyatuan dari dua bunga yang harum semerbak, campuran dari keharuman itu menciptakan jiwa ketiga.

Wallahu'alam bisshowab.


***

Penuh Cinta Selalu untuk Selamanya, Fillah...
Syaheed AS



Kala Cinta Meranggas Aqidah

Publikasi: 17/03/2005 07:46 WIB
eramuslim - Menunggu memang melelahkan jiwa. Pangeran yang dinanti pun entah di mana gerangannya. Namun... Tidaklah sebanding artinya kalau kau gadaikan aqidah hanya karena gundah gulana Bukankah kekanda kelak juga ada di surga? Lalu mengapa tak tunggu saja ia datang berkereta kencana bertahta emas permata?

Kesepian memang kadang menyakitkan, menoreh setiap senyum dan tawa, serta menciptakan riak anak sungai di sudut mata. Sedih dan pedih silih berganti kunjung mengunjungi. Pupus segala harap, melukai semua impian yang kadang memabukkan. Hingga, jiwa yang rapuh menciptakan serpihan kegelisahan yang memilukan.

Saat temaram rembulan menyuguhkan hidangan, terlintas sekelebat bayang. Disibaknya kegelapan, namun entah di mana ia berada. Kecewa, hingga guratan keresahan menyibukkan kelamnya malam. Kebisuan yang menusuk-nusuk membuat kedukaan semakin berat, bahkan menghujamkan akal dan aqidah. Air mata semakin deras tumpah, lelah, tubuh pun mencoba rebah. Namun jiwa ini lemah, bening air yang coba dibendungnya kembali menerobos kelopak mata, ke pipi, hingga membasahi sarung bantal dan kapuk di dalamnya.

Cinta...
Entah berapa banyak pahlawan yang tercipta karenanya, namun cinta juga kadang melahirkan para pecundang. Ia laksana kobaran api yang berasal dari setitik bara, menyuluh, namun dapat pula membakar. Impian karena cinta membuat hati dan raga terselimuti bahagia, memompa harapan yang keluar masuk melalui butiran darah. Mengharapkan belahan jiwa yang siap mendampingi saat tawa dan air mata, hingga terbentang siluet istimewanya seorang wanita yang telah menikah, mengandung, dan melahirkan si kecil dengan selimut kasih sayang, penuh luapan cinta.

Namun, impian berbeda dengan kenyataan. Sepi semakin menggerogoti hari, sendiri dan masih saja sendiri. Duhai belahan hati, entah di mana kekanda bersembunyi.

Cinta dan impian untuk membentuk sebuah keluarga memang begitu indah. Namun tatkala ia belum menyapa janganlah membuat gundah dan resah, bahkan merubah pandangan terhadap Sang Pemilik Cinta. Kegelisahan jangan pula membuatmu menggadaikan aqidah, karena sungguh itu adalah harta yang tak ternilai harganya.

Tak ada yang dapat membelinya, apalagi dengan basa-basi cinta yang menyelubungi halleluyah.

Cinta yang membara tak akan dapat menghapus ketentuan Allah Subhanahu wa Ta'ala, "Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman..." [Al Baqarah: 221].


Cinta akan membentuk sebuah keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah karena kesamaan iman dan aqidah, dalam naungan ridho Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jangan biarkan sedikitpun celah hatimu terbuka dengan cinta berselubung halleluyah, karena cinta seperti itu akan meranggas aqidah. Pernikahan dengan keyakinan yang berbeda, tak akan melahirkan ketenteraman jiwa, karena ia adalah zina.

Kelak, dapatkah engkau menjawab saat anakmu bertanya mengapa ayah selalu pergi setiap hari Minggu, sedangkan dirimu rukuk dan sujud? Bisakah engkau menjelaskan saat anak laki-lakimu bertanya, mengapa ayah tidak menghadiri sholat Jum'at padahal dirimu berbicara panjang lebar tentang kewajiban menunaikannya? Atau, mengapa ayah tidak mengucapkan bismillah tapi atas nama Bapa, Putera dan Roh Kudus? Juga, mengapa Tuhannya ayah ada 3 sedangkan dirimu selalu mengucapkan ahad... ahad... ahad...?

Mampukah engkau menjelaskan semua itu dan banyak pertanyaan lagi dari buah hatimu? Bahkan, sanggupkah engkau menahan murkanya Allah Subhanahu wa Ta'ala?

Duhai jiwa yang lelah...
Saat tanya beruntun mengetuk jiwa, di manakah gerangan kekanda berada, kembalilah kepada Sang Pemilik Rahasia. Lantunkan munajat dan do'a, mohon tetapkan iman untuk selalu terhatur kepadaNya. Jadikan hati ini selalu ikhlas serta rela atas setiap keputusan.

As'alukallahummar ridha ba'dal qadha, wa burdal 'iisyi ba'dal maut, wa ladzdzatan nazhori ila wajhika, wa syauqon ila liqaa'ika. Ya Allah, aku mohon kerelaan atas setiap keputusanMu, kesejukan setelah kematian, dan kelezatan memandang wajahMu serta kerinduan berjumpa denganMu.

Mohonkan juga kepadaNya, agar Ia menguatkan niat dan azzam kepada lelaki yang belum menikah untuk segera menyempurnakan setengah agama, sehingga dirimu serta pasangan jiwa tercinta dapat bersama membangun sebuah istana kecil nan indah dalam naungan ridho-Nya.

Sabar dan besarkan jiwa. Kalaulah Allah Subhanahu wa Ta'ala menakdirkan dirimu sebagai lajang di dunia fana, yakinlah di surga ada kekanda yang setia menunggu hingga saatnya tiba.

Kuatkan hati, tegar dan selalu tegar, karena dirimu memiliki harta yang tak ternilai harganya, ialah aqidah.

WaLlahua'lam bi shawab.

***
Abu Aufa
(Terhatur kepada para ukhti yang masih sendiri, yakinlah cintaNya jauh lebih berharga dari cinta yang berselimutkan halleluyah


Inginnya Aku Mencintaimu


Publikasi: 18/04/2005 08:57 WIB

eramuslim - Tak kenal maka tak sayang. Itu kata pepatah Melayu. Sedang orang Jawa bilang: Awiting tresna jalaran saka kulina. Kedua ungkapan bijak itu jika diterjemahkan secara bebas bermakna hampir sama. Bahwa proses menuju cinta diawali dengan sesuatu yang bernama mengenal. Baik dalam arti kenal secara face to face, atau mengenal dalam arti sejarah hidup orang yang kita cintai.

Dulu, hampir-hampir saya tidak mengenal siapa nabi saya. Siapa Rasulullah SAW itu. Padahal saya muslim. Setiap shalat saya selalu baca shalawat. Ini memang sangat keterlaluan. Barangkali karena saya mengenal agama saya tidak begitu detail seperti kawan-kawan yang belajar di pesantren atau di sekolah khusus keagamaan.

Hingga, ketika teman saya -yang bekerja di toko kitab- itu memutar shalawat setiap saya ke sana, saya biasa-biasa saja dengan senandung itu.

Ketika tahun 90-an para mahasiswa mengejar-ngejar jurnalis dan pengarang Arswendo Atmowiloto, saya juga 'adem ayem' saja. Padahal alasan para mahasiswa waktu itu disebabkan pooling yang dilakukan majalah yang ia pimpin sangat menghina Muhammad SAW. Ia menempatkan Rasulullah di urutan yang kesebelas, persis satu tingkat di bawah nama Arswendo sendiri. Sedang di atas nama Rasulullah ada nama-nama Suharto, Tutut, Zainuddin MZ dan tokoh-tokoh orde baru lainnya.

Tak lama kemudian, setelah geger itu, dunia Islam juga di kejutkan oleh novel The Satanic Verses, karya Salman Rusydi. Novel yang ditulis pengarang Inggris kelahiran India itu juga dinilai sangat menghina Nabi kita. Sehingga pemimpin Republik Islam Iran waktu itu, Ayatullah Khomaini, menyediakan berjuta-juta dollar untuk siapa saja yang bisa menemukan Salman, baik dalam keadaan mati atau hidup. Pada saat itupun saya tenang-tenang saja. Tak ada reaksi apapun. Bahkan tak ada rasa apapun dalam diri saya. Seolah yang dihina adalah seorang manusia biasa.

Tapi suatu ketika, Allah memperkenankan saya bertemu seorang kawan. Kami berdiskusi soal keagamaan. Di ujung pembicaraan, ia menghina Muhammad SAW. Dada saya hampir meledak. Tangan saya hampir-hampir memukul muka kawan saya itu. Mulut saya ingin sekali berteriak. Namun, sayang saya tidak bisa atau tepatnya tidak punya argumentasi kuat untuk membela keberadaan Nabi saya. Karena pengetahuan saya tentang Muhammad begitu dangkal. Saya menyesal sekali. Sejak itulah saya mulai belajar keras untuk mengetahui dengan jelas dan benar siapa Muhammad SAW itu.

Sejak peristiwa itu saya rajin mendatangi kajian-kajian ke-Islaman di sebuah kampus kota saya. Sejak itu saya setiap pagi buta berjalan hampir tiga km untuk ikut mengaji di sebuah pesantren sebelah desa saya. Sejak itulah saya rajin silaturrahim kepada kawan-kawan saya yang aktif di kegiatan Islam kampus. Walau saya sendiri hanya sebagai pedagang kaki lima dan bukan mahasiswa.




Alhamdulillah, dari sanalah saya sedikit tahu sosok agung itu, yang Allah dan para malaikatNya saja bershalawat pada beliau. Figur seorang pemimpin yang ketika anaknya minta dicarikan pembantu rumah tangga, justru sang anak diberikan amalan agar selalu bertasbih, bertahmid dan bertakbir saja. Tokoh sederhana yang ketika ditawari emas sebesar gunung Uhud, justru memilih keluarga dan akhirat saja. Pemimpin para da'i yang ketika dilempari batu di Thaif membalasnya dengan melempar senyum dan mendoakan kebaikan. Sang 'Abid, yang dijamin masuk surga tanpa hisab, tapi masih berdiri kokoh di waktu malam untuk beribadah sampai kakinya bengkak-bengkak. Orang mulia, yang ketika mendekati ajal, yang beliau sebut-sebut bukanlah istri, anak atau keluarga lainnya, tapi justru umatnyalah yang beliau sebut-sebut.

Membaca itu semua, saya jadi teringat perkataan imam masjid di kampung saya dulu ketika mau mengajarkan sejarah nabi. Ia berkata: Mari kita belajar mengenal Nabi kita. Belajar megenal bagaimana tingkah laku pemimpin kita. Dengan mengenal itu semua, kita akan menjadi cinta pada beliau. Dan dengan demikan akan mudah untuk melaksanakan apa yang beliau contohkan.

Kalimat itu terngiang-ngiang kembali di telinga saya.

Cinta. Lagi-lagi karena alasan cinta mereka dengan ringan mampu berbuat sesuatu walaupun resikonya sangat tinggi. Karena cinta, mereka rela mengorbankan harta, tenaga, bahkan nyawa, demi sang kekasih yang dicintainya. Dan saya yakin cinta mereka-mereka yang telah mengenal Nabi itu bukanalah cinta buta. Tapi cinta yang dilandasi sesuatu keyakinan murni yang sangat kuat.

Kembali saya meraba diri sendiri. Setelah agak sedikit mengenal, apakah saya lantas dengan mudah mencintai sang Nabi?

Ya Allah, ternyata mencintai Nabi tak semudah mencintai orang tua, keluarga, atau tak semudah mencintai pasangan kita. Mencintai Nabi ternyata butuh konsekwensi diri yang luar biasa. Bahkan nabi sendiri, ketika ada seorang perempuan datang pada beliau, lantas perempuan itu mengungkapkan keinginannya untuk mencintai nabi setulus-tulusnya, Nabi justru balik bertanya. "Apakah sudah kau pikirkan dulu masak-masak? Sebab mencintai saya itu akan datang banyak cobaan. Dan datangnya cobaan itu seperti datangnya air bah," kata Nabi.

Berarti mencintai nabi tidaklah semudah yang diomongkan lidah. Dan saya sendiri, merasa masih sangat tertatih-tatih dalam menuju derajat cinta Rasul. Sebab mencintai Rasul itu berarti mencintai Allah juga. Dan seandainya boleh saya mengibaratkan, Allah dan Rasul adalah dua sisi mata uang. Yang satupun tak boleh dihilangkan.

Ya Rabbul Jalil, berilah saya kekuatan untuk mencintai Rasul dan mencintaiMu. Agar saya bisa dengan mudah melaksanakan apa yang Kau perintahkan dan menjauhi apa yang Kau larang.

Dan saat-saat ini saya seringkali bertanya pada diri sendiri, sudah sejauh manakah saya mencintai Rasulullah SAW?

Wallahu a'lam.

***

Sus Woyo

Brunei, April 2005


Cinta Kepada Allah

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Firman Allah Ta'ala (artinya):
"Dan diantara manusia ada orang-orang yang mengangkat sembahan-sembahan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah." (Al-Baqarah: 165)

"Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai; itu lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (daripada) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya."." (Bara'ah/At-Taubah: 24)

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Ada tiga perkara, barangsiapa terdapat dalam dirinya ketiga perkara itu, dia pasti merasakan manisnya iman, yaitu Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada yang lain; mencintai seseorang tiada lain hanya karena Allah; dan tidak mau kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan Allah darinya sebagaimana dia tidak mau kalau dicampakkan ke dalam api."

Dan disebutkan dalam riwayat lain: "Seseorang tidak akan merasakan manisnya iman, sebelum…" dst.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhuma, bahwa ia berkata:

"Barangsiapa mencintai seseorang karena Allah, membenci seseorang karena Allah, membela seseorang karena Allah dan memusuhi seseorang karena Allah, maka sesungguhnya kecintaan dan pertolongan dari Allah hanyalah bisa diperoleh dengan hal tersebut. Dan seorang hamba tidak akan menemukan rasa nikmatnya iman, sekalipun banyak shalat dan shiyamnya, sehingga dia bersikap demikian. Persahabatan di antara manusia pada umumnya didasarkan atas kepentingan dunia, namun hal itu tidak berguna sedikitpun bagi mereka."

Ibnu 'Abbas, dalam menafsirkan firman Allah Ta'ala: "... dan putuslah hubungan antara mereka sama sekali." (Al-Baqarah: 166), ia mengatakan: "yaitu kasih sayang."

Kandungan tulisan ini:

Tafsiran ayat dalam surah Al-Baqarah. Ayat ini menunjukkan barangsiapa mempertuhankan selain Allah dengan mencintainya seperti mencintai Allah maka dia adalah musyrik.

Tafsiran ayat dalam surah Bara'ah/At-Taubah. Ayat ini menunjukkan bahwa cinta kepada Allah dan cinta kepada yang dicintai Allah wajib didahulukan di atas segala-galanya.

Wajib mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih daripada kecintaan terhadap diri sendiri, keluarga dan harta benda.

Pernyataan "tidak beriman", bukan berarti keluar dari Islam, (tetapi artinya ialah tidak beriman sempurna).

Bahwa iman ada rasa manisnya, kadangkala dapat diperoleh seseorang dan kadangkala tidak.

Disebutkan empat sikap yang merupakan syarat mutlak untuk memperoleh kewalian dari Allah, dan seseorang tidak akan menemukan rasa nikmatnya iman kecuali dengan keempat sikap itu.

Pemahaman Ibn 'Abbas terhadap realita, bahwa hubungan persahabatan pada umumnya didasarkan atas kepentingan duniawi.

Tafsiran ayat: "... dan terputuslah segala hubungan antara mereka sama sekali." Ayat ini menunjukkan bahwa kecintaan dan kasih sayang yang telah dibina orang-orang musyrik di dunia akan terputus sama sekali ketika di akherat, dan masing-masing dari mereka akan melepaskan diri darinya.

Disebutkan bahwa di antara orang-orang musyrik ada yang mencintai Allah dengan kecintaan yang sangat.

Ancaman terhadap seseorang yang kedelapan perkara tersebut di atas (orang tua, anak-anak, saudara, isteri, kaum keluarga, harta kekayaan, perniagaan dan tempat tinggal) lebih dicintainya daripada agamanya.

Memuja selain Allah dengan mencintainya sebagaimana mencintai Allah, itulah syirik akbar.
Dikutip dari buku: "Kitab Tauhid" karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Penerbit: Kantor Kerjasama Da'wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418 H.

Biar Cinta itu Bermuara Dengan Sendirinya

Kenapa tak pernah kau tambatkan.
perahumu di satu dermaga?
Padahal kulihat, bukan hanya satu.
pelabuhan tenang yang mau menerima.
kehadiran kapalmu!

Kalau dulu memang pernah ada.
satu pelabuhan kecil, yang kemudian.
harus kau lupakan,
mengapa tak kau cari pelabuhan lain,
yang akan memberikan rasa damai yang lebih?

Seandainya kau mau,
buka tirai di sanubarimu, dan kau akan tahu,
pelabuhan mana yang ingin kau singgahi untuk selamanya,
hingga pelabuhan itu jadi rumahmu,
rumah dan pelabuhan hatimu.

( Judul Puisi " Pelabuhan " karya Tyas Tatanka, kumpulan puisi 7 penyair serang)


eramulsim - Matanya berkaca-kaca ketika perempuan itu selesai membaca dan merenungi isi puisi itu. Dulu sekali perempuan itu telah pernah berharap pada seorang laki-laki yang dia yakin baik dan hanif, ada kilasan - kilasan di hatinya yang mengatakan bahwa mungkin dialah sosok yang selama ini dicari.. dialah sosok yang tepat untuk mengisi hari harinya kelak dalam bingkai pernikahan.

Berawal dari sebuah pertemanan. Berdiskusi tentang segala hal, terutama masalah agama. Perempuan itu sedang berproses untuk mendalami agama Islam dengan lebih intens. Dan laki-laki itu, dia paham agama, aktif diorganisasi keislaman, dan masih banyak lagi hal - hal positif yang ada dalam diri lelaki itu. Sehingga kedekatan itu membawa semangat perempuan itu untuk terus menggali ilmu agama.dan mempraktekkannya dalam kesehariannya. Kedekatan itu berlanjut menjadi kedekatan yang intens, berbagi cerita , curahan hati, saling meminta saran, saling bertelepon dan bersms, yang akhirnya segala kehadirannya menjadikan suatu kebutuhan. Kesemuanya itu awalnya mengatasnamakan persahabatan.

Suatu hari salah seorang sahabatnya bertanya " Adakah persahabatan yang murni antara laki-laki dan perempuan dewasa tanpa melibatkan hati dan perasaan terlebih bila sudah muncul rasa simpati, kagum dan kebutuhan untuk sering berinteraksi?" Perempuan itu tertegun dan hanya bisa menjawab " entahlah.."

Sampai suatu hari, laki-laki itu pergi dan menghilang... Awalnya masih memberi kabar. Selebihnya hilang begitu saja. Dan perempuan itu masih berharap dan menunggu untuk suatu yang tak pasti. Karena memang tidak pernah ada komitmen yang lebih jauh diantara mereka berdua. Setiap dia mengenal sosok lelaki lainnya... Selalu dibandingkan dengan sosok laki-laki sahabatnya itu dan tentulah sosok laki - laki sahabatnya itu yang selalu lebih unggul dibanding yang lain. Dan perempuan itu tidak pernah lagi membuka hatinya untuk yang lain. Sampai suatu hari,..

Perempuan itu menyadari kesia-siaan yang dibuatnya. Ia berharap ke sesuatu yang tak pasti hanyalah akan membawa luka dihati... Bukankah banyak hal yang bermanfaat yang bisa dia lakukan untuk mengisi hidupnya kini.... Air mata nya jatuh perlahan dalam sujud panjangnya dikegelapan malam... Dia berjanji untuk tidak mengisi hari - harinya dengan kesia-siaan.

"Lalu bagaimana dengan sosok laki - laki itu ?? "Perlahan saya bertanya padanya.

"Saya tidak akan menyalahkan siapa-siapa, yang salah hanyalah persepsi dan harapan yang terlalu berlebihan dari kedekatan itu, dan proses interaksi yang terlalu dekat sehingga timbul gejolak dihati.... Biarlah hal itu menjadi proses pembelajaran dan pendewasaan bagi saya untuk lebih hati - hati dalam menata hati dan melabuhkan hati," ujarnya dengan diplomatis. Hingga saya menemukan perempuan itu kini benar - benar menepati janjinya.

Dunia perempuan itu kini adalah dunia penuh cinta dengan warna-warna jingga, tawa-tawa pelangi , pijar bintang dimata anak anak jalanan yang menjadi anak didiknya.... Cinta yang dialiri ketulusan tanpa pamrih dari sahabat-sahabat di komunitasnya yang menjadikan perempuan itu produktif dan bisa menghasilkan karya...cinta yang tidak pernah kenal surut dari kedua orang tua dan keluarganya... Dan yang paling hakiki adalah cinta nya pada Illahi yang selalu mengisi relung-relung hati..tempatnya bermunajat disaat suka dan duka... Indahnya hidup dikelilingi dengan cinta yang pasti.

Adakalanya kita begitu yakin bahwa kehadiran seseorang akan memberi sejuta makna bagi isi jiwa. Sehingga.... saat seseorang itu pun hilang begitu saja... Masih ada setangkup harapan agar dia kembali....Walaupun ada kata-katanya yang menyakitkan hati.... akan selalu ada beribu kata maaf untuknya.... Masih ada beribu penantian walau tak pasti... Masih ada segumpal keyakinan bahwa dialah jodoh yang dicari sehingga menutup pintu hati dan sanubari untuk yang lain. Sementara dia yang jauh disana mungkin sama sekali tak pernah memikirkannya. Haruskah mengorbankan diri demi hal yang sia-sia??

Masih ada sejuta asa.... Masih ada sejuta makna.....Masih ada pijar bintang dan mentari yang akan selalu bercahaya dilubuk jiwa dengan menjadi bermakna dan bermanfaat bagi sesama....

"Lalu... bagaimana dengan cinta yang dulu pernah ada?? '' tanya saya suatu hari.

Perempuan itu berujar, " Biarkan cinta itu bermuara dengan sendirinya... disaat yang tepat... dengan seseorang yang tepat.... dan pilihan yang tepat......hanya dari Allah Swt. disaat dihalalkannya dua manusia untuk bersatu dalam ikatatan pernikahan yang barokah.."

Semoga saja akan demikian adanya...

Untuk seorang sahabat.yang tengah meniti masa transisi

dini@mipp.ntt.net.id


Kamis, 22 Januari 2009

Dan Biarkan Air Mata Itu Menetes

KotaSantri.com - Menitik air mata, mengalir membasahi pipi. Jernih bagaikan butiran embun pagi yang berkilauan diterpa sinar mentari. Menghanyutkan rasa karena kedukaan, hati pun menjadi lara akan kesedihan. Lalu mata meluapkan derai tangisan, hingga tercipta nelangsa yang luruh dalam kedukaan.

Air mata kadang bercerita akan indahnya kisah cinta dan bahagia. Namun tak jarang tercurah dan hanyut dalam sedu sedan penyesalan belaka. Karenanya, betapa banyak untaian kisah yang tercipta dari tetesannya.

Air mata pun kadang menetes karena pelajaran akan sebuah makna ketegaran jiwa.

Hirotada Ototake, seorang pria yang lahir tanpa kaki dan tangan, darinya kita bisa belajar tentang makna tegar dalam kehidupan. Ia mengisahkan dalam buku Gotan Fumanzoku tentang kesanggupannya menamatkan studi di Universitas Waseda dan pernah menjadi presenter berita olahraga di televisi.

Ketegaran air mata pun pernah berkisah tentang Mitsuyo Ohira dalam bukunya Dakara Anata mo Ikinuite. Ohira san adalah seorang wanita yang menjadi sasaran olok-olok ketika duduk di sekolah menengah. Ia pernah mencoba bunuh diri ketika remaja, menikah dengan seorang gangster pada usia enam belas tahun, bercerai, namun kemudian berhasil bangkit dari masa lalunya dan kini menjadi pengacara.

Kisah-kisah itu menceritakan ketegaran yang menguras air mata.

Air mata ibarat hujan yang jatuh dari langit pada lahan hati yang tandus, gersang dan kering kerontang. Tetesannya melunakkan hati dan jiwa yang keras membatu, lalu menciptakan rasa empati dan peka terhadap ciptaan-Nya.

Kegersangan hati dan jiwa, serta qalbu yang merekah karena berbagai nista perlahan pupus. Hanyut, bagaikan debu-debu yang terbawa arus oleh untaian do'a dalam butir-butir air mata yang dimunajatkan kepada Sang Pencipta.

Mahal...

Sungguh sangat mahal harganya tetesan air mata yang mengalir saat khusyuk menghadap-Nya. Hingga salah satu dari dua tetesan yang disukai RasuluLlah SallaLlaahu Alayhi Wasallam adalah air mata yang mengalir karena rasa takut dan rindu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Beliau, yang terjaga dari dosa bahkan selalu menumpahkan air mata karena penuh harap untuk berjumpa dengan-Nya.

Seorang mujahid serta mujaddid yang pernah hidup di dunia ini, Hasan al Banna, juga menguraikan air matanya karena memikirkan ummat.

Betapa keinginannya agar ummat mengetahui bahwa mereka lebih dicintai daripada dirinya sendiri. Hingga ia pernah berkata, "Sesaat pun kami tak akan pernah menjadi musuh kalian."

Betapa bangganya Sang Imam ketika jiwa-jiwa ini gugur sebagai penebus kehormatan mereka, atau menjadi harga bagi tegaknya kejayaan, kemuliaan dan terwujudnya cita-cita Islam.

Rasa cinta itu mengharu-biru hati, menguasai perasaan bahkan mencabut rasa ngantuk di pelupuk mata hingga membuat beliau memeras air matanya. Air bening itu lalu mengalir karena menyaksikan bencana yang mencabik-cabik ummat ini. Sementara kita hanya sanggup menyerah pada kehinaan serta pasrah pada ketidakberdayaan.

Dan...

Apa yang terjadi pada diri ini?

Takkala lahir menangis, namun orang-orang tercinta tertawa bahagia karena menyambut kelahiran kita. Namun, mereka pun menangis pilu saat kita tutup usia.

Saat diri akan beranjak pergi, apakah kita juga turut menangis ataukah mengulas senyum bahagia karena akan berjumpa dengan-Nya?

Adakah amal kita lebih banyak dari dosa yang kita lakukan selama hidup di dunia fana?

Apakah prestasi kita hanya lahir, hidup, mati, kemudian dilupakan orang, bahkan oleh orang-orang terdekat kita?

Lalu setelah itu hanya pasrah, rebah di bantalan tanah, cemas menanti pengadilan akhir yang pasti tiba.

Duhai Sang Pemilik Jiwa...

Jadikanlah tetesan air yang jatuh dari sudut mata adalah air mata berharga, hingga mampu membersihkan hati yang pekat ini untuk mudah dicelupi cahaya-Mu, Ilahi Rabbi.

Dan, jangan Engkau jadikan air mata ini kelak berubah menjadi tetesan darah karena lelah berteriak, menangis dan mengetuk pintu surga yang telah tertutup rapat.

Sungguh...
Bersimbah tetesan air mata di dunia fana adalah lebih baik daripada genangan air mata bercampur darah saat di akhirat nanti.

Menangislah sebelum datang hari dimana kita semua akan ditangisi, karena saat itu pasti akan terjadi.

Telah tertutuplah pintu surga
Diketuk keras tak akan terbuka
Walau pekik ingin memecah langit
Walau air matanya berganti darah

Ya Allah, yang manusia harus takuti
Angkatlah kami dari lembah maksiat
Sampai kami keluar dari dunia
Tak bawa beban walau sebesar zarrah

(Lirik Nasyid: Air Mata dari Izzatul Islam)

Abu Aufa






Negeri yang Dijanjikan

Oleh : M Fuad Nasar


Diriwayatkan dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW berkata kepada 'Adiy bin Hatim at Thaiy, ''Wahai Adiy, jika umurmu panjang, kamu akan menyaksikan kaum wanita berangkat seorang diri berkendaraan dari Hirah (Iran) menuju Ka'bah (Makkah) dengan aman, tidak suatu yang ditakutinya, kecuali Allah semata. Dan sesungguhnya kalau umurmu panjang, kamu akan ikut membuka perbendaharaan harta kekayaan Maharaja Persia (dengan membawa keadilan). Dan sesungguhnya jika umurmu panjang, kamu akan melihat orang yang membawa uang emas atau perak sepenuh-penuh tangannya mencari orang-orang miskin yang akan menerimanya, tetapi tidak seorang pun fakir miskin dijumpainya yang berhak menerimanya (karena seluruh rakyat sudah hidup makmur).'' (HR Bukhari).

Dalam hadis di atas Rasulullah mengajak pemuda Adiy membayangkan, dalam waktu yang tidak lama umat Islam akan hidup dalam sebuah negara yang aman, adil, dan makmur di bawah naungan ridho Ilahi. Dr Yusuf Qardhawi dalam bukunya Musykilatul Faqri Wa Kaifa 'Alajahal Islam menceritakan, segala nubuwat itu sudah disaksikan Adiy di masa hidupnya. Kekuasaan Raja Persia sudah dihabiskan dengan jatuhnya Ktesiphon dalam perang Qadisiyah. Adiy ikut memasuki kota itu dan menyaksikan langsung mahkota kebanggaan Maharaja Persia diboyong ke Madinah. Begitu pula tentang jaminan keamanan, Adiy menyaksikan wanita-wanita dari Iran berkendaraan lancar ke Makkah dalam perjalanan menempuh jarak ribuan kilometer tanpa suatu gangguan.

Negeri yang dijanjikan itu terwujud secara paripurna di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H). Menurut riwayat Baihaqi, Khalifah Umar memerintah hanya 30 bulan. Tapi, setiap rakyatnya tidaklah meninggal dunia melainkan meninggalkan uang yang banyak, dan mereka meninggalkan wasiat supaya hartanya dibagikan kepada fakir miskin. Tetapi, tidak seorang pun di dalam negara itu ada orang yang hidup miskin. Khalifah Umar betul-betul sudah memakmurkan rakyat secara merata.

Negeri yang dijanjikan itu pasti akan terjadi di setiap zaman, jika syarat-syaratnya dipenuhi. Menurut Alquran, tidak dibutuhkan syarat yang banyak, melainkan tersimpul dalam ungkapan kata iman dan takwa. ''Kalau sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, maka pastilah Kami membukakan bagi mereka pintu-pintu keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi, (bila) mereka durhaka, maka Kami siksa mereka disebabkan usaha mereka sendiri.'' (Al-A'raf: 96).

Pada ayat lain Allah berfirman, ''Dan Tuhan memberikan contoh perbandingan adanya negara yang aman tenteram, yang rezekinya berlimpah dari tiap-tiap tempat, kemudian penduduk negeri itu kufur akan nikmat Allah, maka Allah merasakan kelaparan dan ketakutan disebabkan perbuatan mereka sendiri.'' (An-Nahl: 112)

Dalam surat Saba ayat 15-20, diceritakan sebuah negara bernama Saba'. Mulanya rakyat di negeri itu hidup senang dan makmur menikmati karunia Allah. Tapi, karena mereka mendurhakai Tuhan dan berbuat aniaya di antara sesamanya, maka dalam sekejap kemakmuran itu berganti dengan kesengsaraan. Tragedi negeri Saba' hendaknya menjadi pelajaran bagi kita semua.

republika





HIJRAH

cOleh : Fajar Kurnianto



Secara kebahasaan, seperti yang disebutkan dalam kamus bahasa Arab Al-Mu'jam al-Wasith, kata hijrah memiliki arti 'menjauhi' (taba'ada). Seperti dalam Alquran, ''Dan wanita-wanita yang kalian takutkan nusyuz-nya (meninggalkan kewajibannya sebagai seorang istri), maka terlebih dahulu nasihatilah mereka dan baru setelah itu, pisahkanlah, jauhkanlah (wahjuruhunna) mereka dari tempat tidurmu.'' (QS An-Nisa: 34).

Secara terminologi (istilah), hijrah dimaknai sebagai perjalanan menuju negeri lain untuk mempertahankan agama dan keyakinan dari gangguan dan rongrongan orang-orang yang berseberangan keyakinan. Hal ini seperti yang tercantum dalam Alquran, ''Dan orang-orang yang telah menempati Madinah lagi beriman, mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka.'' (QS Al-Hasyr: 9).

Dalam ayat ini kata hijrah kemudian menjadi istilah populer, yaitu sebagai perpindahan orang Islam dari Makkah ke Madinah. Dipertegas lagi dengan ayat, ''Para malaikat berkata, 'Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu'?'' (QS An-Nisa: 97).

Namun, makna hijrah secara fisik ini kemudian oleh Nabi sendiri, pada hari Fathu Makkah (penaklukan Makkah tahun ke-8 H), dianggap selesai dan tidak ada lagi, seperti yang diceritakan oleh Ibnu Abbas, ''Pada hari Fathu Makkah, aku mendengar Nabi SAW bersabda, 'Tidak ada lagi hijrah setelah hari ini, akan tetapi yang ada adalah jihad dan niat'.'' (HR Al-Bukhari dari Ibnu Abbas).

Ini mengindikasikan bahwa hakikat sejati hijrah bukanlah fisik semata, akan tetapi lebih pada perubahan yang dilakukan kaum Muslimin dalam bersikap dan bertindak.

Hijrah adalah keniscayaan bagi setiap orang beriman yang meyakini bahwa perubahan menuju hal-hal yang baik adalah bagian dari tuntutan keimanan yang telah tertanam dalam hati sanubari. Karena alasan iman inilah, kaum Muslimin pada zaman Nabi rela meninggalkan negeri kelahiran mereka menuju negeri orang lain. Rela meninggalkan harta benda demi keyakinan bahwa hanya Allahlah yang menjadi tambatan segala kehidupan, bukan harta benda. Rasulullah SAW bersabda, ''Orang yang berhijrah sejati adalah orang yang meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah.'' (HR Muslim dari Abdullah bin Umar).

Hijrah dalam pengertian maknawi adalah seperti yang Nabi sampaikan dalam hadis di atas, yaitu menjauhi hal-hal yang dengan jelas dilarang oleh Allah dalam Kitab-Nya. Segala apa yang telah Allah dan Rasul-Nya tentukan keharamannya dengan jelas, menjadi keharusan bagi setiap Muslim yang taat untuk meninggalkannya. Meninggalkan dan menjauhi larangan-Nya adalah juga proses yang meniscayakan adanya perubahan dalam pola dan gaya hidup untuk menggapai nilai-nilai yang lebih positif dan berarti. Pendek kata, perubahan dalam orientasi hidup sesuai petunjuk Ilahi.

Wallahu a'lam.


republika




Jumat, 16 Januari 2009

Palestina Darah Daging Kita



Rubrik: Taujihat Tgl: 1/9/2001

Masih terbayang jelas dibenak kita rekaman peristiwa pembantaian seorang bocah Palestina bernama Muhammad Ad-Darrah. Meski ia telah sembunyi diketiak ayahnya yang berlindung dibalik batu besar, seorang tentara Yahudi laknatullah tetap saja memberondong bocah dan orang tua itu dengan peluru tajam hingga sang bocah syahid. Ketika kamera mengabadikan tragedi kemanusiaan itu ditayangkan ditelevisi, banyak orang yang menyaksikannya mengutuk dan dibuat geram. Akan tetapi, sesungguhnya peristiwa tersebut bukanlah satu-satunya peristiwa pembantaian anak-anak Palestina, ada ratusan peristiwa serupa telah terjadi sebelumnya, akan tetapi sedikit saja yang dapat direkam oleh kamera sehingga dapat disaksikan oleh banyak mata diseluruh penjuru dunia. Dan saat ini ketika hampir semua mata tertuju pada layar kaca sampai detik ini yang menampilkan berita-berita Palestina, baru kita tersadar dan tergugah untuk peduli terhadap nasib saudara-saudara kita di Palestina.

Masalah Palestina memang semakin genting. Rencana Zionis Israel menguasai kota Baitul Maqdis agar dapat menghancurkan Masjidil Aqsha dan membangun Haikal diatasnya semakin jelas terlihat. Kekuatan Zionis kembali melakukan operasi pembunuhan para pemimpin perlawanan Islam Palestina. Diantara yang menjadi sasaran adalah dua tokoh terkemuka Hamas yaitu as-syahid Jamal Salim dan as-syahid Jamal Mansur. Para Zionis itu juga membunuh ulama dan wartawan muslim yang tetap berjuang di Palestina dan ratusan penduduk sipil yang tak berdosa ikut mereka korbankan hanya demi ambisinya menguasai bumi suci umat Islam itu. Para ekstrimis Yahudi juga berkeras meletakkan batu pertama pondasi pembangunan Haikal yang telah disetujui pemerintah Zionis. Berbagai lembaga milik orang Palestina di kota suci Baitul Maqdis juga ditutup.

Untuk mempertahankan Masjidil Aqsha dan kemuliaan ummat, rakyat Palestina selama ini telah melakukan semua yang dapat mereka kerjakan. Pemuda, orang tua, ibu-ibu dan anak-anak bersatu-padu menentang penjajahan dengan berbagai cara : membentuk pasukan jihad bersenjata dan pasukan berani mati, menyiapkan bom syahid, intifadhah anak-anak yang senatiasa menghujani serdadu Zionis dengan lemparan batu, demontrasi penentangan oleh kaum wanita, bahkan para ibu siap menjadi tameng bila terjadi penangkapan-penangkapan. Mereka telah mengorbankan semuanya, ribuan syuhada’ telah gugur, pemukiman mereka rata dengan tanah, penduduk kota dideportasi dan anggota keluarga tercerai-berai.

Sementara itu apa yang telah dilakukan umat Islam untuk membela saudara-saudara kita di Palestine? Kita seolah tidak ambil peduli dan mengandalkan penyelesaian Palestina kepada PBB, meski berkali-kali perjanjian damai yang isinya nyata-nyata menguntungkan Yahudi dan antek-anteknya telah ditandatangani, selalu saja berakhir dengan pengkhianatan. Masihkah kita menyerahkan urusan Palestina kepada orang lain? Akankah kita rela bangsa Palestina berjuang sendirian? Apakah kita rela melepaskan bagian tubuh kita? Bukankah umat Islam itu satu bangunan yang saling menyangga dan satu tubuh yang ikut merasakan kepedihan anggota tubuh yang lain?! Al-Qur’an dalam banyak ayat menyeru kaum muslimin tidak berpangku tangan melihat penderitaan saudaranya. Diantaranya apa yang tersebut dalam surat An-Nisa’ berikut: "Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah baik dari kaum laki-laki, wanita ataupun anak-anak yang semuanya berdo’a: ‘Wahai Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang dzalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau’." (QS. 4:75)

Ayat tersebut jelas-jelas mengecam sikap diam kita saat melihat penderitaan dan penindasan yang dialami sesamannya. Allah sesungguhnya mampu menyelamatkan mereka, namun Allah ingin menguji kita, menguji rasa kemanusiaan dan persaudaraan kita, Allah ingin menguji keimanan kita.

Dalam ayat lain bukan hanya mengecam, Allah bahkan mengancam orang-orang yang tak mau mengulurkan pertolongan dengan adzab yang pedih. Tak seorangpun menghendaki datangnya azab.

Karenanya sudah selayaknya kita melakukan sesuatu untuk saudara-saudara kita di Palestina sebagai wujud kepedulian dan cinta kasih kita kepada mereka. Kita pun harus percaya pada kekuatan kita sendiri dan tidak menyerahkan penyelesaian urusan umat kepada kekuatan lain yang jelas-jelas tidak pernah berpihak kepada kepentingan umat. Kita tak ingin sejarah mencatat kita sebagai orang yang tunduk kepada kezhaliman dan kehinaan.

Apa yang harus kita lakukan?

Pertama, meyakinkan diri kita, keluarga dan orang-orang terdekat kita bahwa Palestina adalah bagian dari tubuh dan darah daging kita yang bila dilukai ikut merasakan kepedihannya dan mau peduli dengan mengobatinya. Kedua, membentuk opini yang benar tentang jihad palestina dan ikut melakukan tekanan kepada Israel dan para pendukungnya melalui media massa. Ketiga, sisihkan sebagian dana kita untuk Tabungan Dunia Islam dan menyerahkannya setiap akhir bulan kepada lembaga-lembaga yang menyalurkan dana tersebut.

Palestina darah daging kita, bagian tubuh kita. Sebagaimana kita peduli masalah Aceh, Ambon, Poso dan Halmahera, sudah selayaknya kita juga peduli kepada nasib dan perjuangan rakyat Palestina.

Antara Zionisme Dan Yahudi


Karya : Harun Yahya


Musim panas tahun 1982 menjadi saksi atas kebiadaban luar biasa yang menyebabkan seluruh dunia berteriak dan mengutuknya dengan keras. Tentara Isrel memasuki wilayah Lebanon dalam suatu serbuan mendadak, dan bergerak maju sambil menghancurkan sasaran apa saja yang nampak di hadapan mereka. Pasukan Israel ini mengepung kamp-kamp pengungsi yang dihuni warga Palestina yang telah melarikan diri akibat pengusiran dan pendudukan oleh Israel beberapa tahun sebelumnya. Selama dua hari, tentara Israel ini mengerahkan milisi Kristen Lebanon untuk membantai penduduk sipil tak berdosa tersebut. Dalam beberapa hari saja, ribuan nyawa tak berdosa telah terbantai.

Terorisme biadab bangsa Israel ini telah membuat marah seluruh masyarakat dunia. Tapi, yang menarik adalah sejumlah kecaman tersebut justru datang dari kalangan Yahudi, bahkan Yahudi Israel sendiri. Profesor Benjamin Cohen dari Tel Aviv University menulis sebuah pernyataan pada tanggal 6 Juni 1982:

Saya menulis kepada anda sambil mendengarkan radio transistor yang baru saja mengumumkan bahwa ‘kita’ sedang dalam proses ‘pencapaian tujuan-tujuan kita’ di Lebanon: yakni untuk menciptakan ‘kedamaian’ bagi penduduk Galilee. Kebohongan ini sungguh membuat saya marah. Sudah jelas bahwa ini adalah peperangan biadab, lebih kejam dari yang pernah ada sebelumnya, tidak ada kaitannya dengan upaya yang sedang dilakukan di London atau keamanan di Galilee…Yahudi, keturunan Ibrahim…. Bangsa Yahudi, mereka sendiri menjadi korban kekejaman, bagaimana mereka dapat menjadi sedemikian kejam pula? … Keberhasilan terbesar bagi Zionisme adalah de-Yahudi-isasi bangsa Yahudi. ("Professor Leibowitz calls Israeli politics in Lebanon Judeo-Nazi" Yediot Aharonoth, July 2, 1982)

Benjamin Cohen bukanlah satu-satunya warga Israel yang menentang pendudukan Israel atas Lebanon. Banyak kalangan intelektual Yahudi yang tinggal di Israel yang mengutuk kebiadaban yang dilakukan oleh negeri mereka sendiri.

Pensikapan ini tidak hanya tertuju pada pendudukan Israel atas Lebanon. Kedzaliman Israel atas bangsa Palestina, keteguhan dalam menjalankan kebijakan penjajahan, dan hubungannya dengan lembaga-lembaga semi-fasis di bekas rejim rasis Apartheid di Afrika Selatan telah dikritik oleh banyak tokoh intelektual terkemuka di Israel selama bertahun-tahun. Kritik dari kalangan Yahudi sendiri ini tidak terbatas hanya pada berbagai kebijakan Israel, tetapi juga diarahkan pada Zionisme, ideologi resmi negara Israel.

Ini menyatakan apa yang sesungguhnya terjadi: kebijakan pendudukan Israel atas Palestina dan terorisme negara yang mereka lakukan sejak tahun 1967 hingga sekarang berpangkal dari ideologi Zionisme, dan banyak Yahudi dari seluruh dunia yang menentangnya.

Oleh karena itu, bagi umat Islam, yang hendaknya dipermasalahkan adalah bukan agama Yahudi atau bangsa Yahudi, tetapi Zionisme. Sebagaimana gerakan anti-Nazi tidak sepatutnya membenci keseluruhan masyarakat Jerman, maka seseorang yang menentang Zionisme tidak sepatutnya menyalahkan semua orang Yahudi.

Asal Mula Gagasan Rasis Zionisme

Setelah orang-orang Yahudi terusir dari Yerusalem pada tahun 70 M, mereka mulai tersebar di berbagai belahan dunia. Selama masa ‘diaspora’ ini, yang berakhir hingga abad ke-19, mayoritas masyarakat Yahudi menganggap diri mereka sebagai sebuah kelompok masyarakat yang didasarkan atas kesamaan agama mereka. Sepanjang perjalanan waktu, sebagian besar orang Yahudi membaur dengan budaya setempat, di negara di mana mereka tinggal. Bahasa Hebrew hanya tertinggal sebagai bahasa suci yang digunakan dalam berdoa, sembahyang dan kitab-kitab agama mereka. Masyarakat Yahudi di Jerman mulai berbicara dalam bahasa Jerman, yang di Inggris berbicara dengan bahasa Inggris. Ketika sejumlah larangan dalam hal kemasyarakatan yang berlaku bagi kaum Yahudi di negara-negara Eropa dihapuskan di abad ke-19, melalui emansipasi, masyarakat Yahudi mulai berasimilasi dengan kelompok masyarakat di mana mereka tinggal. Mayoritas orang Yahudi menganggap diri mereka sebagai sebuah ‘kelompok agamis’ dan bukan sebagai sebuah ‘ras’ atau ‘bangsa’. Mereka menganggap diri mereka sebagai masyarakat atau orang ‘Jerman Yahudi’, ‘Inggris Yahudi, atau ‘Amerika Yahudi’.

Namun, sebagaimana kita pahami, rasisme bangkit di abad ke-19. Gagasan rasis, terutama akibat pengaruh teori evolusi Darwin, tumbuh sangat subur dan mendapatkan banyak pendukung di kalangan masyarakat Barat. Zionisme muncul akibat pengaruh kuat badai rasisme yang melanda sejumlah kalangan masyarakat Yahudi.

Kalangan Yahudi yang menyebarluaskan gagasan Zionisme adalah mereka yang memiliki keyakinan agama sangat lemah. Mereka melihat “Yahudi” sebagai nama sebuah ras, dan bukan sebagai sebuah kelompok masyarakat yang didasarkan atas suatu keyakinan agama. Mereka mengemukakan bahwa Yahudi adalah ras tersendiri yang terpisah dari bangsa-bangsa Eropa, sehingga mustahil bagi mereka untuk hidup bersama, dan oleh karenanya, mereka perlu mendirikan tanah air mereka sendiri. Orang-orang ini tidak mendasarkan diri pada pemikiran agama ketika memutuskan wilayah mana yang akan digunakan untuk mendirikan negara tersebut. Theodor Herzl, bapak pendiri Zionisme, pernah mengusulkan Uganda, dan rencananya ini dikenal dengan nama ‘Uganda Plan’. Kaum Zionis kemudian menjatuhkan pilihan mereka pada Palestina. Alasannya adalah Palestina dianggap sebagai ‘tanah air bersejarah bangsa Yahudi’, dan bukan karena nilai relijius wilayah tersebut bagi mereka.

Para pengikut Zionis berusaha keras untuk menjadikan orang-orang Yahudi lain mau menerima gagasan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama mereka ini. Organisasi Yahudi Dunia, yang didirikan untuk melakukan propaganda masal, melakukan kegiatannya di negara-negara di mana terdapat masyarakat Yahudi. Mereka mulai menyebarkan gagasan bahwa orang-orang Yahudi tidak dapat hidup secara damai dengan bangsa-bangsa lain dan bahwa mereka adalah suatu ‘ras’ tersendiri; dan dengan alasan ini mereka harus pindah dan bermukim di Palestina. Sejumlah besar masyarakat Yahudi saat itu mengabaikan seruan ini.

Dengan demikian, Zionisme telah memasuki ajang politik dunia sebagai sebuah ideologi rasis yang meyakini bahwa masyarakat Yahudi tidak seharusnya hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain. Di satu sisi, gagasan keliru ini memunculkan beragam masalah serius dan tekanan terhadap masyarakat Yahudi yang hidupnya tersebar di seluruh dunia. Di sisi lain, bagi masyarakat Muslim di Timur Tengah, hal ini memunculkan kebijakan penjajahan dan pencaplokan wilayah oleh Israel, pertumpahan darah, kematian, kemiskinan dan teror.

Banyak kalangan Yahudi saat ini yang mengecam ideologi Zionisme. Rabbi Hirsch, salah seorang tokoh agamawan Yahudi terkemuka, mengatakan:

‘Zionisme berkeinginan untuk mendefinisikan masyarakat Yahudi sebagai sebuah bangsa .... ini adalah sesuatu yang menyimpang (dari ajaran agama)’. (Washington Post, October 3, 1978)

Seorang pemikir terkemuka, Roger Garaudy, menulis tentang masalah ini:

Musuh terbesar bagi agama Yahudi adalah cara berpikir nasionalis, rasis dan kolonialis dari Zionisme, yang lahir di tengah-tengah (kebangkitan) nasionalisme, rasisme dan kolonialisme Eropa abad ke-19. Cara berpikir ini, yang mengilhami semua kolonialisme Barat dan semua peperangannya melawan nasionalisme lain, adalah cara berpikir bunuh diri. Tidak ada masa depan atau keamanan bagi Israel dan tidak ada perdamaian di Timur Tengah kecuali jika Israel telah mengalami “de-Zionisasi” dan kembali pada agama Ibrahim, yang merupakan warisan spiritual, persaudaraan dan milik bersama dari tiga agama wahyu: Yahudi, Nasrani dan Islam. (Roger Garaudy, "Right to Reply: Reply to the Media Lynching of Abbe Pierre and Roger Garaudy", Samizdat, June 1996)

Dengan alasan ini, kita hendaknya membedakan Yahudi dengan Zionisme. Tidak setiap orang Yahudi di dunia ini adalah seorang Zionis. Kaum Zionis tulen adalah minoritas di dunia Yahudi. Selain itu, terdapat sejumlah besar orang Yahudi yang menentang tindakan kriminal Zionisme yang melanggar norma kemanusiaan. Mereka menginginkan Israel menarik diri secara serentak dari semua wilayah yang didudukinya, dan mengatakan bahwa Israel harus menjadi sebuah negara bebas di mana semua ras dan masyarakat dapat hidup bersama dan mendapatkan perlakuan yang sama, dan bukan sebagai ‘negara Yahudi’ rasis.

Kaum Muslimin telah bersikap benar dalam menentang Israel dan Zionisme. Tapi, mereka juga harus memahami dan ingat bahwa permasalahan utama bukanlah terletak pada orang Yahudi, tapi pada Zionisme.

Hak cipta selamanya oleh Allah © Subhanahu wa Ta'ala

Semua materi dapat disalin dan disebarkan (syukur-syukur ...) dengan mencantumkan www.prayoga.net


BAYANG MERAH SREBRENICA

Senin, 31 Januari 05 - oleh : admin
Retno Biber



Aku melangkah menuju halte tram di pusat kota Sarajevo yang dikenal dengan nama Bascarsija, tempat pusat suvenir bagi turis-turis. Kakiku memasuki tram yang menuju arah apartemen. Akhir musim semi, tapi sudah begitu hangat cuacanya. Yah, seingatku saat bertandang ke Jerman ke rumah Baka, beliau selalu bilang bahwa Bosnia itu negeri yang indah di Eropa. Karena ketika musim dingin, suhunya tidaklah terlalu menusuk tulang, begitupula musim seminya terasa lebih cepat dan lebih hangat dibanding negara-negara Eropa Utara. Baka adalah nenekku. Aku tinggal bersama tata dan mamaku di Sarajevo. Ayahku seorang muslim dan ibuku keturunan Kroasia yang sudah turun-temurun tinggal di Sarajevo. Tak tahu apa jadinya aku ini, apakah orang Bosnia atau Kroasia? Aku tak mau peduli. Hanya satu hal yang aku mau, sukses menjadi seorang dokter. Titik. Tata memiliki nama muslim. Sedangkan namaku netral. Namun nama margaku sangat mencolok dan bisa diketahui kalau ayahku seorang muslim. Yah, Nevenka Muminovic, itulah namaku. Seperti sebuah identitas di Bosnia Herzegovina, kami yang berbeda etnis memiliki nama yang menunjukan identitas. Apakah kamu Serbin, muslim, ataukah Hrvat?

Baru saja kakiku menapak, setelah keluar dari sesaknya tram di Sarajevo, tiba-tiba kulihat anak lelaki kecil berkulit gelap selayaknya kaum gipsi yang tinggal nomaden di sisi-sisi kota Sarajevo, berlari melesat seiring dengan lenyapnya tasku

˝Boze! Copet! Copet! Tolong!!” teriakku kencang sambil aku juga berlari mengejarnya di tepi-tepi pusat pertokoan Ferhadija. Orang-orangpun ikut mengejar, namun apa daya kalau ternyata kaki-kaki mungil anak itu lebih kencang berlari.
˝Ohhhhh… shit!” rutukku Akupun harus berhenti karena napasku tersengal-sengal. Langit langsung terasa gelap. Uang untuk penelitian, biaya alat praktek dan sebagainya lenyap. Hilang!! Aku hanya bisa duduk tak berdaya di kursi taman sementara rasa panas menjalar dari kedua bola mataku. Kuremas dan kurapatkan sisi depan jaketku walau tak terasa dingin. Bukan karena dingin… hanya saja aku geram. Bagaimana bodohnya sampai pengemis kecil itu mencopet tasku. Siang terang benderang ini terasa sangat gelap untukku.
***

“Oh jadi begitu?” tanya suara di seberang sana.
“Yup. Sampel tulang, buku anatomi dan peralatan praktek kita semua, amblas,” kataku
“Kamu sudah lapor polisi belum?” tanya, temanku yang juga masuk dalam tim penelitian kami.
“Sudah, hari itu juga aku sudah lapor polisi dengan Tata. Tapi aku tidak terlalu berharap banyak mengingat kamu tahu bagaimana susahnya mengejar para gypsi di Sarajevo. Mereka saling membantu dalam aksi pencopetan.”
˝Ya, aku mengerti. Kita harus memikir bagaimana cara mendapatkan bahan-bahan praktikum ini,” katanya.

Kutempelkan telapak tanganku di dahiku, ”Hmm, gimana ya?˝ Tiba-tiba aku mendengar suara tayangan iklan tentang pencarian Radovan Karadzic dan Ratko Mladic di TV. Penjahat perang, most wanted. Dicari hidup-hidup atau mati.

“Bravo!! Eh, Aida, aku tahu yang harus kita lakukan!” Kkututup segera gagang telepon yang menandai berakhirnya percakapanku dengan Aida.
***

˝Cestitam!! Saya harap kalian tidak akan undur diri kalau memang kami ingin membantu anda semua. Ini bukan misi yang biasa dilakukan mahasiswa kedokteran. Terus terang kami belum pernah melibatkan tim di luar yang dipimpin oleh atasan kami. Kalau kalian bisa membantu kami, kami juga akan membantu anda semua. Mengerti?” Lelaki berumur 40-an yang memiliki tatap mata tajam itu menatap kami. Mirzet Halilovic, petinggi misi yang sedang kami ikuti.

Aku, Aida, Ammar, dan Edin adalah tim yang dilibatkan dalam pengidentifikasian tulang-tulang dari korban ethnic cleansing tragedi Srebrenica tahun 1995. Gila!! Aku tidak pernah mengira akan dikirim ke tempat ini sebelumnya. Hal ini semua harus kami hadapi setelah aku berhasil melobi Palang Merah Internasional dan Bosanska Vlada yang mengizinkan kami semua bergabung dalam tugas ini. Tahun 2003, ini berarti kejadian itu sekitar 8 tahun yang lalu.

Sejak pembantaian Srebrenica , dilaporkan 8000 muslim laki-laki dewasa dan anak-anak menghilang. Sebenarnya telah dilaporkan pula total penduduk yang tewas dalam peperangan Bosnia adalah sekitar 200.000 jiwa. Ini bukan jumlah kecil bagi negara yang berpenduduk hanya 4 juta jiwa.

“E,h tolong pindahkan setiap bungkusan ini ke dalam kotak-kotak yang telah tertulis nama di penutupnya,” cetus Edin. Edin seorang muslim, seperti Ammar dan Aida. Hanya akulah satu-satunya yang tidak jelas statusnya. Ya, di Bosnia Herzegovina itu biasa. Banyak orang kawin campur antar agama.

“Biar aku yang memasukkan potongan-potongan ini ke dalam kotak, dan kamu membantuku. Bisa?” kata Ammar. Akupun segera mengenakan sarung tangan. Mataku mengerjap membaca nama-nama di kotak untuk tulang-tulang belulang itu. Husein, Emir, Zejnil, Hamzah, bahkan lengkap dengan nama marganya. Glek! Kutelan ludahku segera ketika melihat potongan baju berwarna kuning, baju anak-anak. Ya Tuhan, dosa apa yang mereka panggul hingga diperlakukan seperti ini? Bulu kudukku merinding. Aku lihat Aida juga serius melakukan hal yang sama denganku. Kami memasukkan potongan-potongan tulang itu ke dalam plastik lalu menempatkannya kembali ke dalam kotak-kotak terpisah.

“Aku tidak menyangka mereka sekejam ini membantai orang-orang tak berdosa. Aku takut, nanti malam aku tidak bisa tidur karena ingat tulang-tulang ini,” ˝kataku sambil membetulkan letak penutup kepalaku. Kami memang bekerja dengan pakaian tertutup.
“Apa kamu percaya bahwa orang yang mati akan bisa bangkit lagi, Nevenka?” potong Ammar sambil menatapku.

“Hmm, aku percaya akan kematian. Cuma apakah mereka yang mati akan dibangkitkan lagi?˝
“Sebagai muslim akupercaya bahwa tulang-tulang yang sedang kita kumpulkan dan selidiki ini, akan mampu merapat kembali membentuk rangka dan menjadi tubuh sempurna lagi. Ja Vjerujem,” sahut Ammar.

Mataku membelalak dan entah apa lagi yang ingin aku katakan saat ini. Aku shock sekali melihat pemandangan ini semua. Masih ditambahi omongan-omongan kacau dari temanku itu. Akupun segera melepaskan sarung tangan setelah selesai pada kotak terakhir.
***
Suara derit pintu menggema saat aku memasuki ruangan yang kukunjungi tiga bulan yang lalu sewaktu Bozic. Sebagai penganut katolik Roma, Mama dan aku--yang waktu itu hanya ingin menemaninya saja, merayakan hari Bozic bersama jemaat katolik.

Gereja Katolik Roma St. Ivan Krstitelj. Gereja ini dibangun di Sarajevo sejak tahun 1919. Dinding-dinding pucat, atap berbentuk setengah lingkaran menjulang setinggi 10 meter dihiasi gambar-gambar riwayat nabi-nabi. Ada salib besar di tengah altar yang ditemani oleh 2 patung dari sosok yang diimani penganut katolik. Sebenarnya aku hanya beberapa kali memasuki gereja ini. Menemani mamaku, itu saja alasanku. Sedangkan Tata? Tata tak pernah masuk masjid walau dia mengaku beragama Islam.

“Nak, ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang suster. Dia ternyata telah memperhatikanku sejak aku datang ke sini. Ya, dia suster katolik yang tinggal di asrama dekat gereja ini.
“Sestro, saya hendak mencari Tuhan. Apakah saya datang kepada tempat yang benar?” kataku kepadanya
”Ya, Tuhan selalu siap mendengar manusia-manusia berdoa kepada-Nya. Percayalah! Aku telah mempersembahkan hidupku untuk Tuhan. Aku tidak menginginkan kehidupan dunia yang lezat. Semua ini demi Tuhan,” sahutnya.

˝”Maaf, saya memang bukan penganut katolik yang taat. Saya hanya benar-benar ingin mengetahui lebih lanjut tentang keyakinan saya,” kataku sambil kutatap matanya.

“Maka datanglah pada Tuhanmu, Nak! Maaf, saya harus menyiapkan missa untuk besok.,” katanya sambil berlalu.Jawaban suster itu membuatku gamang. Akupun duduk di kursi deret terdepan. Entahlah apa yang terjadi padaku. Sejak 5 pekan yang lalu setelah aku terlibat dalam pencarian dan pengidentifikasian tulang-belulang muslim korban Srebrenica, aku menjadi lebih memikirkan akan keyakinanku. Akupun yakin dengan setiap detak jantungku, bahwa tentu Tuhan mengutus nabi-Nya untuk ketentraman. Lalu apakah para Serbia itu memiliki alasan kuat untuk membunuh muslim-muslim? Apakah juga agama katolik yang dianut ibuku ini pantas aku ikuti? Ataukah juga agama Islam yang diakui tata-ku pantas direnungi.
Kalau saja, tulang-tulang itu bisa berbicara padaku. Aku hendak menanyakan apa yang telah terjadi dengan jiwa mereka setelah terperangkap dalam pekatnya tanah. Benarkah kematian itu akhir kehidupan?
Tuhan! Tolonglah aku! Tragedi Srebrenica ini menggigit jiwaku.
***

“Memangnya itu tidak mudah menurutmu?” mataku menatap Aida. “Bisa dibilang demikian bagi orang-orang yang terlahir seperti aku. Kedua orangtuaku muslim, lihat saja namaku, Aida? Well, menjadi muslim itu bukan hal yang mudah, aku berpuasa di bulan ramadhan. Bajram itu kewajiban bagi kami, karena kami bisa bertemu dan bersenang-senang dengan sanak famili,” Gadis itu bercerita tentang dirinya. Dia terlahir sebagai muslim. Sejak aku mengikuti misi ini, aku banyak bertanya kepadanya mengenai Islam.
“Aida, bukankah ketika orangtuamu muslim kamu juga berarti muslim bukan? Nah, sekarang pikirkanlah tentang aku. Aku memiliki orangtua yang berbeda keyakinan. Dan sampai detik ini aku belum memutuskan keyakinan mana yang hendak kujalani. Aku kadang-kadang mengikuti Mama ke gereja namun aku tidak yakin di sana ada kebenaran. Terlalu banyak hal-hal yang sukar dipahami dalam agama yang dianut mamaku.

Sedangkan Tata? Tata-ku bilang bahwa dia adalah muslim tapi tidak pernah kutemukan Al-Quran di rumah kami. Terus terang aku takut mati! Bagaimana kalau aku mati dan menjadi tulang-tulang seperti korban Srebrenica itu? Kalau aku salah langkah dalam kehidupanku, apa aku akan selamat juga setelah kematian datang?” mataku menatap wajah di depanku yang
“Itu urusan privasi kamu, Nevenka. Mau jadi muslimanka, Srpkinja atau Hrvatica itu bukan pilihan kita. Tuhan mentakdirkan kita terlahir begini, kalau aku… takdirku menjadi muslim dan kamu?” jawabnya sambil menaikan bahu, tanda tak mengerti.
***

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” ucap gadis bertutup kepala dengan melakukan gerakan kepala ke kanan lalu ke kiri.
Di manakah aku sekarang? Kulihat sekeliling, tampak mimbar dan hamparan karpet penuh di ruangan ini. Ya, sekarang aku yakin ada di mana. Dzamija, begitulah mereka memanggil tempat suci muslim ini.

“Sestro! Apa yang baru saja anda lakukan?”
“Klanjam… apakah anda muslim?’ tanya gadis itu.
“Hmm, bukan. Aku pun tidak tahu kenapa aku berada di tempat ini…”

”Di masjid, kami menutup aurat. Itu salah satu bentuk penghormatan kami kepada tempat ibadah. Apakah anda keberatan jika saya berikan anda marama untuk menutup rambut anda?”
”Oh tentu,” kataku sambil menerima kerudung berwarna biru dari tangan gadis itu.
Blaaaar!

Tiba-tiba terdengar suara ledakan dari arah jendela. Kulihat reruntuhan tembok dan kaca dari masjid ini menghambur ke arah kami.
“Tolong!!” teriakku. Akupun lari ke arah pintu bersama gadis yang ketemui dalam masjid itu. Kamipun saling berpegangan dan menghambur keluar sementar mataku tak mampu melihat jelas sebab debu dari reruntuhan tembok telah membuat kedua bola mataku buram. Tiba-tiba aku disekap dari belakang oleh dua buah tangankekar.

“Hahaha!! Muslimanka!!” suara itu memekakan telingaku.
“Cetnici! Apa yang kalian mau dari kami?” sahut gadis berkerudung yang belum kuketahui namanya itu.
“Diam! Aku tusuk nanti mulutmu!! Kalian perempuan-perempuan muslim harus menurut apa yang akan kami perintahkan! Tahu?!” sahut seorang lelaki kekar berpakaian militer dan di badgenya terlihat bendera kecil, warna merah.biru dan putih. Serbia. Militer Serbia rupanya. Tanganku terikat dan aku pun diseret bersama gadis itu ke dalam sebuah rumah dekat masjid. Rupanya ini rumah imam masjid.

“Aku telah menangkap kakak dan ibumu. Hahaha… kamupun aku tangkap di dalam masjid itu, setelah kamu merunduk-runduk dan mencium karpet! Hahaha!” kata lelaki itu kepada gadis berkerudung merah. Diapun mengalami nasib sama denganku. Tangannya terikat.

“Lepaskan aku! Keparat!!” teriakku.
“Hah, kamu siapa? Yang kutahu kamu berada di masjid, dan itu berarti kamu muslim. Muslim adalah musuh besar kami. Tahu! Kami orang-orang Serbia punya misi membersihan etnis muslim. Agar Serbia raya jaya! Agar gemerincing lonceng Tuhan menggelora! Kalian harus mati!!” sahut lelaki berkepala botak yang memanggul senjata laras panjang.

Kamipun diseret masuk ke dalam sebuah ruangan yang telah dipenuhi wanita-wanita. Ya, semuanya adalah wanita. Ada 30 perempuan di dalam ruangan itu, ada nenek-nenek tua, ibu-ibu dan gadis serta anak-anak balita. Ya Tuhan! Aku gemetar! Aku takut mereka akan membunuhku. Tuhan, aku belum siap! Tubuhku dihempaskan di sudut ruangan oleh lelaki botak itu.

“Amina!” seorang perempuan berumur 30-an berbisik kepada gadis yang bersamaku tadi di masjid.
“Mama! Apakah Mama baik-baik saja? Di mana Kak Azemina?” seru gadis itu.
“Azemina dibawa bersama gadis-gadis lain. Entahlah apa yang hendak mereka perbuat. Bajingan-bajingan itu telah memborgol dan membawa ayah dan kakakmu di kamp dekat Pazaric.”
“Boze nam pomozi! Untunglah mereka tidak berbuat kejam terhadap kita, Mama. Setahuku pasukan Serbia telah memasuki jantung kota Srebrenica dan ini petaka besar. Sebab ke mana lagi kita hendak lari?”

Srebrenica memang berada di wilayah utara Bosnia. Penduduk etnis muslim dan Serbia telah hidup bersama. Musim semi ini tak nampak indah seperti tiap tahunya karena aku saat ini sedang disekap bersama puluhan perempuan muslim. Ruangan berukuran 7 kali 10 meter ini terasa sesak dan dingin karena memang tidak ada penghangatnya. Tuhan!! Kenapa aku berada di sini?
“Kalian semua dengarkan perintahku!” teriak seorang lelaki kekar berkepala botak seraya menyorongkan senjatanya kepada seluruh wanita di dalam ruangan ini.

“Kalian harus menurut. Jika ada yang berusaha melarikan diri, peluru siap menembus kepala-kepala kalian. Untuk sementara kalian kami kurung di tempat ini. Makanan hanya satu kali sehari. Mengerti?!”

“Hahaha, muslim-muslim kotor tak tahu diri. Kalian sudah untung hidup bersama Yugoslavia! Minoritas berlagak sok kuat. Kalau kalian kami bersihkan di muka bumi balkan ini, siapa yang akan menolong, hah?” ujar lelaki berambut pirang disamping si botak.

˝Allah yang akan menolong kami. Allah! Kalian adalah bajingan serakah. Aku tidak takut denganmu!” tiba-tiba Amina berteriak lantang dan menuding ke arah lelaki-lelaki Serbia itu.
“Amina! Jangan, Nak!” teriak ibunya.
”Hei, kamu gadis kecil! Diam dan tutup mulutmu. Kamu belum tahu kawan-kawan kami di seberang sana, mungkin sudah mencincang tubuh ayahmu. Kalau kamu berani menentang kami, tunggu saja kematianmu!

“Komandan Igor! Truk pengangkut makanan telah datang,” kata seorang bawahannya yang baru saja datang.
“Baik, Milan. Walaupun mereka tawanan kita, cecunguk ini masih harus diisi perutnya. Kalau tidak, apa kata dunia internasional nanti? Hahaha,” teriaknya sambil melempar-lemparkan bungkusan roti dengan kajmak serta selai.
Merekapun memberi tidak lebih dari itu. Ya, aku sadar sekarang aku berada di kamp tawanan Srebrenica. Pengap sekali ruangan ini. Ada beberapa bayi pula dan perempuan-perempuan yang tampak payah serta berusia lanjut.

Aku berusaha memasukkan potongan demi potongan roti ke dalam mulutku. Aku masih menatap gadis yang bernama Amina tadi. Dia tampak begitu pemberani dan garang. Dia berusia kira-kira 17 tahun. Tampak Amina sedang menyuapi makanan untuk ibunya. Ke manakah kakaknya? Dia tadi menyebut-nyebut tentang keberadaan kakaknya.

“Amina…” bisikku perlahan.
Ada apa, Kak?”
“Apakah ada cara untuk melarikan diri dari tempat ini?˝” tanyaku.
“Entahlah. Tampaknya sulit karena tempat ini dijaga ketat oleh para serdadu Serbia itu. Apalagi daerah Srebrenica telah digarap oleh mereka. Kakak lelaki dan ayahku entah ke mana perginya. Menurut ibuku, mereka dibawa pergi dengan truk besar dari rumahku.”

Kulihat matahari telah bersembunyi di balik garis horizon. Beberapa perempuan di ruangan ini melakukan ritual peribadatan muslim. Aku hanya bisa memandang mereka. Tampak mereka berdoa dan pasrah kepada Tuhan-nya. Tuhan! Berapa kali Engkau kuingat dalam hidupku?! Entah.
Serdadu-serdadu yang berjaga di depan pintu itu terkantuk-kantuk.

“Amina, kita harus mencari jalan keluar dari tempat ini. Bagaimana kalau kamu pelan-pelan keluar lewat jendela itu?”
“Ide yang bagus. Tapi kita harus menunggu agar malam lebih larut dan tidak menimbulkan kecurigaan mereka.”

Aku menangguk tanda setuju. Akhirnya diapun segera membisikan ide kami melarikan diri kepada tawanan semua.
Tepat pukul 12 tengah malam, ketika aku dengar lolongan serigala, aku dan Amina serta beberapa perempuan lain mengendap-endap dekat jendela. Dengan sedikit dorongan akhirnya kami mampu meloncati jendela tua itu. Upps!
Semak belukar di dekat rumah tawanan ini memberi kami gerak leluasa untuk tidak terlihat dari serdadu-serdadu itu. Akhirnya kami sampai di dekat sebuah belokan jalan. Namun tiba-tiba terdengar sesuatu.

”Hei, cecunguk! Berhenti! sebuah suara dari belakang.
Aku, Amina dan beberapa perempuan lain yang sempat melarikan diri semakin cepat berlari. Gelap! Tak tampak begitu jelas. Hingga tiba-tiba kurasakan sebuah benda panas telah menembus punggungku. Ahhhhh… darah! Kurasakan tubuhku sakit luar biasa! Tolong!!

˝Tolong! Oh… Tuhan, di manakah aku sekarang? Di sebuah kamar berdinding warna biru. Oh… bukankah ini kamar tidurku? Ya, Tuhan! Kulihat tubuhku masih utuh dan aku masih mampu menghirup udara. Aku masih hidup! Rupanya aku tertidur dan bermimpi sangat seram. Oh! Kulirik buku di dekatku. Tragedi Srebrenica, sejarah kelam area Balkan.
***
25 Mei 2004, Potocari-Srebrenica.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Terima kasih atas kehadiran seluruh undangan. Saat ini kami sedang menjalankan hak-hak atas saudara muslim kami yang telah mendahului kita menuju alam kekal. Alhamdulillah misi penggalian dan pengidentifikasian korban Srebrenica telah diselesaikan. Kepada semua pihak yang terkait, saya ucapkan terima kasih.”

Seorang lelaki berumur 50 tahun, memakai penutup kepala berwarna putih dan memakai jubah hitam menyelesaikan sambutannya. Tampak di samping lelaki itu seorang lelaki berambut jarang dan seorang lagi lelaki bertubuh tinggi besar. Lelaki pertama yang berjubah itu bernama Mustafa Ceric dan dua lelaki disampingnya adalah dewan presiden Bosnia Herzegovina. Tepatnya beliau adalah petinggi ulama Bosnia.

Saat ini aku sedang berdiri bersama tim gabungan pencarian korban Srebrenica. Tampak Presiden Bosnia Herzegovina, Sulaiman Tihic, sedang bersalaman dengan utusan-utusan dari kedutaan.
Akhirnya, aku beserta kawan-kawan menyelesaikan misi kami. Bahkan kami telah lulus sebagai sarjana kedokteran. Dari data orang hilang dan korban yang ditemukan masih tidak sesuai. Hal ini diduga karena militer Serbia telah melakukan pemusnahan tubuh-tubuh korban dalam larutan kimia di sebuah pabrik dekat Potocari.

Militer Serbia telah memusnahkan puluhan ribu muslim di Bosnia bagian utara. Saat ini pula Slobodan Milosevic diadili di Den Haag dengan tuduhan penjahat perang. Semoga keadilan di atas bumi ini masih ditegakkan.Dan aku begitu banyak belajar tentang kehidupan dari misi ini. Kehidupan? Adakah kehidupan lagi setelah kematian? Tanyakan saja pada tulang belulang yang saat ini hendak dikebumikan.

Keterangan:
Tram: kereta api listrik
Baka: nenek
Tata: ayah
Serbin: lelaki etnis Serbia
Hrvat: lelaki etnis Kroasia
Boze: Tuhan
Bravo: Hore
Cestitam: Selamat
Bosanska vlada: pemerintah Bosnia
Ja vjerujem: Saya percaya
Bozic: natal
Sestro: Suster, atau sebutan untuk saudara perempuan
Bajram: idul fitri
Muslimanka: perempuan muslim
Srpkinja: perempuan Serbia
Hrvatica: perempuan Kroasia
Dzamija :masjid
Klanjam: Shalat
Marama: kerudung
Cetnici: Militer Serbia
Boze nam pomozi: Tuhan, tolonglah kami
Kajmak: krem susu