Minggu, 31 Mei 2009

Sekali lagi: Ikhlaslah!

“Sesungguhnya hari ini adalah satu hari diantara hari-hari Allah, tidak pantas diisi dengan kebanggaan dan keangkuhan. Ikhlaskanlah jihadmu dan tujulah Allah dengan amalmu, karena hari ini menentukan hari-hari yang akan datang.” (Kata-kata Khalid bin Walid ditengah-tengah berkecamuknya perang Yarmuk)

Kata Ikhlas sudah begitu sering kita dengar dalam berbagai kesempatan. Bagi prajurit dakwah seperti kita,semestinya ikhlas tidak boleh lagi menjadi sekedar retorika, melainkan ia harus hadir dan ada dalam diri kita, menyatu dalam pikiran, hati, menjadi jiwa dari setiap nafas dan gerak perjuangan kita. Bersamanya kita memulai hari-hari , dengannya kita membangun ukhuwah dan menapaki jalan dakwah ini.

Saudaraku,

Bukanlah tanpa maksud AsSyahid meletakkan Ikhlas dalam rukun baiatnya, sehingga ikhlas-sebagaimana juga sembilan rukun lainnya- telah mengikat kita untuk menjadikannya landasan dalam setiap gerak dan langkah sejak pertama kali baiat itu kita berikan. Ini berarti kita terikat dengan ikhlas tidak hanya secara syar’i tetapi juga secara tanzhimi.

Dengan kata lain, setiap anggota jamaah ini wajib ikhlas dalam setiap geraknya, baik gerak sebagai pribadi maupun gerak sebagai anggota jamaah. Jika ada satu saja gerak kita yang tidak ikhlas, berarti kita- secara syar’i -telah mengkhianati Allah SWT, dan secara tanzhimi- mengkhianati baiah kita sendiri dan jamaah ini. Na’udzu billah min dzalik.

Karena itu saudaraku yang kucintai karena Allah, sudah sepatutnya kita menyadari dengan sepenuh hati, bahwa sejak kali pertama kita bergabung dengan jamaah ini, ikhlas telah menjadi tuntutan dan kewajiban yang mengikat diri kita sampai Allah menampakkan kemenangan bagi dakwah ini atau kita syahid dalam menegakkan dan membelanya.

Disini saya tidak akan menguraikan makna ikhlas dengan kata-kata, kita semua bahkan telah menghafalnya diluar kepala. Saya ingin mengajak kita semua untuk merenungi bersama kata-kata ini:

Apakah kita telah menjadikan ikhlas sebagai sesuatu yang menyatu dalam diri kita, melebur, menjasad, mendarah daging, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari diri kita?”

Apakah ikhlas telah merasuk dalam pemikiran kita sehingga membuat kita menjadi produktif sekaligus kreatif dalam mengeluarkan gagasan untuk membangun dakwah ini tanpa tendensi apapun selain kepada Allah SWT?

Apakah ikhlas telah melebur dalam hati kita sehingga menjadikan kita mampu memandang segala permasalahan dalam dakwah ini dengan jernih, dan menjadikan kita mampu membangun ukhuwah,ukhuwah yang sebenarnya bukan sekedar hiasan kata?

Apakah ikhlas telah menjadi jiwa dari setiap amal yang kita lakukan, sehingga menjadikan kita rela melaksanakan apapun perintah dan kebijakan jamaah dengan penuh tanggung jawab,tanpa rasa berat dan tidak berharap balasan atas semua itu kecuali hanyalah dari Allah SWT?

Atau wahai saudaraku para prajurit dakwah yang kucintai karena Allah, apakah ikhlas baru sekedar kata tanpa makna,atau ia cuma retorika yang kita suapkan kepada mutarobbi kita?

Saudaraku,

Takutlah kepada Allah, karena Dia Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Kuasa atas segala sesuatu. Sesungguhnya kemenangan dakwah ini sejak dulunya selalu terkait dengan keikhlasan para prajuritnya.

Mari kita kembali pada asholah dakwah ini,sebenarnya apa motivasi awal kita memilih hidup di jalan ini? Apa yang kita inginkan ketika bergabung dengan jamaah ini? Izinkan saya untuk menjawabnya:

Motivasi awal dan keinginan kita adalah meraih ridha Allah, untuk itu kita akan ikut berputar bersama roda jamaah kemanapun ia berputar, tidak akan bergeser darinya karena kita yakin kebaikan itu ada bersama dengan jamaah, dan kehinaan – dunia akhirat- bila memisahkan diri darinya. Termasuk ketika jamaah ini berputar menjadi sebuah partai, kitapun ikut berputar bersamanya, melaksanakan kebijakan dan perintahnya dengan mengerahkan seluruh potensi kita. Semua itu kita lakukan sebagai sarana atau alat untuk meraih keridhaan Allah, lain tidak. Bagi kita, ridha Allah adalah imbalan terbesar dan termahal, karena itu kita sudah merasa cukup dengan imbalan itu.

Saat ini roda jamaah sedang berputar lagi, kearah manapun ia berputar, kita tetap ikut berputar bersamanya, tetap menjadi tulang punggung dan pembelanya yang setia, seraya berharap Allah Yang Maha Menyaksikan senantiasa menyertai perjuangan kita.

Yakinlah saudaraku,

Allah akan terus menyertai perjuangan kita selama perjuangan kita murni,bersih dari noda yang mengotorinya, selama motivasi dan keinginan kita dalam perjuangan ini tidak bergeser atau berubah.

Karena itu, sekali lagi: Ikhlaslah dan terus pelihara keikhlasan itu sampai Allah SWT memberikan kemenangan kepada jamaah ini atau kita syahid dalam menegakkan dan membelanya!

Berjuang Mengemban Amanah



"Hai orang-orang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad saw.) dan janganlah kalian mengingkari amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu sedang kalian mengetahui" (Q.S. Al-Anfaal [8]:27).
Kita semua akan sangat kagum dan terharu mendengar kisah bagaimana seorang nakhoda kapal yang sedang tenggelam berupaya sekuat tenaga menyelamatkan para penumpangnya dan dia tidak mau meninggalkan kapal itu sebelum seluruh penumpangnya selamat.

Kita pun akan terkesan mengenang perjuangan seorang ibu yang anaknya bandel hingga harus dipenjara. Namun, dia tetap berjuang agar sang anak tak putus asa. Dia terus membangun harapan bahwa hari esok, semua akan menjadi lebih baik. Perbuatan buruk sang anak tentu sangat mencoreng kehormatan orang tuanya. Akan tetapi, semua itu dipikul dengan sabar sebagai bentuk tanggung jawab orang tua. Seburuk apa pun kelakuan anak, mau tidak mau dia tetap darah dagingnya sendiri yang wajib dicucuri kasih sayang. Atau, boleh jadi kenakalan anak itu bermula justru dari kelalaiannya sendiri dalam mendidik anak-anaknya.

Banyak kisah yang membuat kita berdecak kagum yang bertutur tentang pengorbanan seseorang yang bertanggung jawab, walaupun untuk itu dia harus mempertaruhkan nyawa yang hanya satu-satunya yang ia miliki. Pada saat yang sama, kita pun akan sama-sama merasa mual dan dongkol ketika mendengar orang-orang yang tak bertanggung jawab. Begitu rendah dan menjijikkannya sikap tidak bertanggung jawab itu. Seorang laki-laki secara tak bertanggung jawab merusak kegadisan wanita. Seorang suami berselingkuh dan menyia-nyiakan anak istrinya. Seorang ibu menelantarkan bahkan membunuh bayi yang dilahirkan dari rahimnya sendiri. Seorang prajurit secara pengecut meninggalkan medan tempur.


Pemimpin jahat tidak bertanggung jawab atas rakyatnya. Dia bermegah-megah dan berleha-leha ketika rakyatnya mengerang kelaparan. Seorang guru tak bertanggung jawab, mengabaikan tugas-nya mendidik generasi muda. Seorang pedagang licik mencampur barang baik dengan barang buruk semata hanya karena ingin meraup keuntungan setinggi-tingginya. Termasuk yang tak kalah hina-dinanya adalah, seorang anak yang tak bertanggung jawab kepada kedua orang tua yang telah bersusah payah membesarkannya dari kecil.

Kita harus mengevaluasi diri, sampai sejauh mana kesadaran kita memikul amanah yang diembankan di pundak kita. Sejauh mana kita telah gigih mempertanggungjawabkan semua itu? Banyak tanggung jawab yang sebenarnya harus kita tunaikan. Sebagai manusia, kita perlu bertanya, apakah kita berperilaku dan bermartabat layaknya manusia, atau kita justru berjasad manusia namun berperilaku hewan? Sepanjang hari hanya sibuk memuaskan nafsu syahwat, keserakahan, kebuasan, kelicikan dan aneka perilaku lain layaknya tingkah binatang.

Sebagai Muslim kita wajib bertanya, apakah kita benar-benar menjaga kehormatan selaku seorang Islam, ataukah perilaku kita malah mencoreng kemuliaan Islam? Sebagai orang tua, kita perlu meraba hati, jangan-jangan selama ini kita tidak serius mendidik dan memberi suri teladan sehingga mereka tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang berakhlak buruk. Bisa jadi kitalah yang menjerumuskan anak-anak itu, bukan perilaku mereka sendiri.

Sebagai warga masyarakat, kita perlu merenung kembali, jangan-jangan kita ini termasuk "sampah masyarakat." Jangan menganggap sampah masyarakat itu orang miskin. Orang kaya, bergelar, berkedudukan, berkuasa, namun kalau kelakuannya buruk, angkuh, sok pamer dan tidak bermanfaat sedikit pun, dia bisa juga disebut sampah masyarakat! Orang berada yang tak peduli kepada orang miskin dan justru mengeksploitasi keringat orang miskin, maka dialah sampah masyarakat yang paling busuk.

Di atas hanyalah sebagian contoh dari tanggung jawab yang bisa kita renungkan. Masih banyak aneka tanggung jawab lain yang mesti kita pikul dalam kehidupan sehari-hari. Maka mulailah kita bangun akhlak kita dengan bertanggung jawab terhadap amanah-amanah, sekalipun kecil nilainya.

Rawatlah tanggung jawab penampilan kita. Bersikaplah manis, jangan sampai wajah kita tidak terkendali, selalu cemberut dan merusak kehangatan suasana. Bertanggung jawablah terhadap kata-kata yang kita keluarkan. Jangan bicara kecuali yang benar dan manfaat.
Bertanggung jawablah terhadap kebersihan lingkungan. Jangan sekali-kali membuang sampah sembarangan. Mungkin kita bersih, tapi orang lain jadi terkotori. Membuang sampah sembarangan bisa dikatakan sebagai salah satu perilaku yang tidak bertanggung jawab.

Bertanggungjawablah selama di perjalanan. Jangan menyerobot, tak mau antre, dan selalu berbuat bising di jalan. Nikmati hidup tertib sebagai cerminan sikap tanggungjawab kita. Bertanggung jawablah atas keamanan. Jangan sampai merugikan dan mencelakakan orang lain. Aturlah sikap dan perilaku kita sehingga orang lain merasa aman dan nyaman dengan tingkah laku kita.

Bertanggung jawablah dalam hal keuangan. Pastikan tidak ada hak orang lain yang ada pada diri kita yang terambil secara yang tidak halal. Hindari perilaku mark up, suap-menyuap, korupsi, mengambil kembalian tanpa permisi, melalaikan utang dan perilaku-perilaku curang lain. Pastikan tidak ada harta haram pada diri kita. Dengan perilaku ini, insya Allah, kita akan sangat bahagia, terhormat, dan akan dicukupi rezeki oleh Allah SWT.

Bertanggungjawablah bila diberi amanah kedudukan dan kekuasaan dengan berjuang serius memajukan kesejahteraan lahir batin seluruh karyawan, memajukan perusahaan dan menguntungkan semua pihak. Dan jangan sekali-kali secara curang mengorbankan amanah untuk kepentingan diri pribadi. Itu adalah ciri khas orang curang yang akan gagal kariernya.

Dan bertanggung jawablah bila kita melakukan kesalahan. Seberat apa pun hukuman dunia yang harus dipikul karena kesalahan itu, masihlah lebih ringan dibandingkan hukuman berupa siksa Allah yang perihnya tiada terlukiskan oleh gambaran apa pun. Yakinlah, manusia pada umumnya akan memaafkan bahkan simpati kepada orang yang pernah berbuat salah, lalu sadar, bertobat dan berusaha mempertanggungjawabkan kesalahannya. Mungkin saja tubuhnya menghadapi hukuman, namun Allah dengan kemurahan-Nya akan mengampuni dan memulihkan nama baiknya di dunia ini maupun di akhirat kelak. Wallahu a`lam.***


Ma-iyatullah dan Optimisme Kader Dakwah



Taujihat ini ditujukan kepada seluruh prajurit dakwah dimanapun berada, yang pantang mengenal lelah walaupun harus mendaki gunung dan mengarungi lautan agar keharuman dakwah Islam dinikmati seantero dunia

Ikhwah dan akhwat fillah rahimakumullah, Masih amat membekas di benak kita kisah tentang keteladanan seorang penggembala kambing di zaman Khalifah Umar ra. Inilah sosok pemuda yang akan terus menjadi ‘icon’ dakwah sepanjang masa. Betapa tidak, di tengah himpitan dan kerasnya pergulatan hidup ini tidak sekeping pun dari keimanannya, keyakinannya digadai, ditukar atau bahkan dijual demi mendapatkan kenikmatan hidup yang sesaat ini. Yang menarik dari kisah ini adalah kata kunci yang menjadi eye catching dari keseluruhan kisah ini yaitu “fa aina Allah?”. Kalimat sederhana itu mengalir dari lidah tegar penuh optimis seorang mukmin sejati. Kalimat “fa aina Allah”’ itu tidak dialamatkan untuk mencuri perhatian Khalifah Umar ra. atau sengaja ditujukan untuk mencari muka --carmuk-- seperti yang sering dipertontonkan kebanyakan masyarakat di negeri ini saat kunjungan para pejabat ke mereka. Dia tidak lahir begitu saja, akan tetapi kalimat spektakuler ini dilafalkan dari sanubari hati yang paling dalam karena mahabbah kepada Allah swt.

Ikhwah dan akhwat fillah rahimakumullah, Demikianlah sikap kita dalam menjalani kehidupan dakwah ini. Sepanjang kultur “fa aina Allah” telah meresap dalam-dalam pada diri kita, inilah modal awal kita membangun optimisme dakwah. Bayangkan, seorang penggembala kambing yang hidup di tengah gurun, jauh dari pantauan siapa pun, tidak tersentuh teknologi tinggi --350 tahun lalu-- mampu merekonstruksi ma’iyatullah begitu indah. Sudah barang tentu tidak sulit bagi kita merekonstruksi dan menghayati nilai-nilai ma’iyatullah di era teknologi informasi sekarang ini. Allah swt. sudah pasti dan selalu menyertai hamba-hamba-Nya yang beramal, bergerak, berjuang, dan berjihad demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Keyakinan ini sudah selayaknya menghujam pada diri kita, “Intanshurullah yanshurkum wa yutsabbit aqdamakum.” (Muhammad: 10); “Alladziina jaahadu fiina lanahdiyannahum subuulana wa innalaaha la ma’al muhsinin.”(Al-Ankabut: 29).



Ikhwah dan akhwat fillah rahimakumullah, Ma’iyatullah harus diartikan bahwa perjuangan menegakkan dien yang hak melalui jalan dakwah dengan ahdaf dan qararat di dalamnya pasti didukung, ditolong, dan dibela Allah swt. beserta bala tentaranya. Inilah fondasi dalam merangkai optimisme untuk memetik kemenangan demi kemenangan di jalan dakwah ilallah. Tidak boleh sedikit pun terbesit keputusasaan, pesimistis dan kehilangan harapan di dalam diri kita. Bahkan, sifat seperti ini dilarang Allah, “...walaa tahinuu fibthigho’il qoum…(An-Nisaa’: 104). Ma’iyatullah selalu berbuah ta’yidullah. Artinya, dukungan dan pertolongan berupa apa saja pasti Allah berikan kepada pembela, penolong, dan penegak dienullah ini.

Ikhwah dan akhwat fillah rahimakumullah, tidak boleh ada keraguan bagi kita. Dakwah ini, cepat atau lambat, Allah swt. akan perlihatkan kemenangan itu dengan kita saksikan sendiri atau kita sudah bersaksi di hadapan Allah. Kesertaan dan penyertaan Allah dalam kehidupan ini mesti tercermin dalam setiap gerak-gerik kita. Untuk itu perlu muhafazhah atau penjagaan ma’iyatullah ini agar tetap berada di sekitar kita. Isyarat-isyarat kemenangan banyak Allah swt. paparkan di dalam Al-Qur’an al-karim, salah satunya adalah dalam surat Al-Anfaal: 45-47. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud ria kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan. Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan, "Tidak ada seorang manusia pun yang dapat menang terhadap kamu pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu." Maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling lihat melihat (berhadapan), setan itu balik ke belakang seraya berkata, "Sesungguhnya saya berlepas diri daripada kamu; sesungguhnya saya dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat; sesungguhnya saya takut kepada Allah.\" Dan Allah sangat keras siksa-Nya.

Inilah dhawabith yang akan senantiasa menjaga mai’yatullah kita.

1.Bersikap tsabat Kehadiran, keterlibatan, dan keterikatan kita dalam dakwah ini adalah pilihan sekaligus iradah Allah. Artinya, kita secara sadar dan penuh kesadaran telah memilih jalan ini, untuk kemudian tekad suci ini bertemu dengan kemauan dan kehendak Allah. Jadilah dia sebuah ketegaran, keteguhan, tsabat yang tidak mudah diguncang oleh kekuatan sebesar apapun kecuali oleh sang Pemilik kekuatan itu sendiri. Inilah jamaah dakwah yang kita telah beriltizam di dalamnya. Kita patuhi amarannya, baik dalam susah ataupun senang, baik dalam keadaan lapang atau pun sempit. Bergerak, berputar bersama jamaah ini kemana pun dia bergerak menuju ridha Allah SWT dengan pencapaian ahdaf sebesar-besarnya hingga tegaknya khilafatullah fil ardh.

2. Banyak-banyak dzikrullah Sikap tsabat mengantarkan seseorang untuk senantiasa dzikrullah, mengingat perintah-Nya, mengingat larangan-Nya, membesarkan asma-Nya, menyucikan dzat-Nya dan memuji kebesaran-Nya. Kesibukan dzikrullah akan mengantarkan kita pada ma’unah Allah SWT. Bahkan, akan menenteramkan jiwa kita sebagai modal dalam menghadapi tantangan, rintangan, dan halangan di jalan dakwah, “...ala bidzkrillahi tathma’innal quluub…. Dzikrullah akan membawa pelakunya menjadi a’dho yang qonaah atas setiap keputusan dan kebijakan jamaah karena dia akan selalu husnudz-zhan dan berpikir positif. Sikap ini tentunya dilanjutkan dengan kreasi-kreasi dalam menjalankan amr jama’ah.

3. Taat kepada Allah SWT dan kepada Rasul SAW. Faktor kemenangan dakwah ditandai dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ma’rakah Badr menjadi monumen kemenangan tentara kebenaran dalam ketaatannya kepada Allah dan Rasul. Sebaliknya, di perang Uhud inflasi ketaatan telah berakibat kekalahan. Oleh karena itu, jangan pernah kita menganggap remeh, mudah, bahkan meninggalkan ketaatan itu.

4. Tidak Berbantah-bantahan (adamut tanaju) Prinsipnya, berbeda pendapat adalah biasa. Tapi, menjadi tidak biasa ketika perbedaan pendapat tersebut teraktualisasi menjadi friksi-friksi atau benturan-benturan kepentingan yang tidak lillah yang pada gilirannya akan berakhir dengan terbentuknya faksi-faksi, atau kelompok, atau golongan. Itulah yang tengah terjadi dalam masyarakat negeri ini. Untuk itu, soliditas struktural dan personal menjadi hal mutlak dalam menjalankan dakwah. Bagaimana mungkin terbentuk wihdatul ummah sementara tidak terjadi wihdatul shufuf di kalangan pejuang Islam sendiri. Alhamdulillah, jama’ah kita diberkahi Allah SWT dengan orang-orang yang sadar akan hal tersebut sehingga matanatut tanzhimiyah terjadi di jamaah kita ini.

5. Bersabar Allah SWT menyuruh kita agar bersabar dalam segala hal, termasuk dalam dakwah. Akan tetapi, yang jauh lebih penting agar kita tetap sabar dalam menghadapi musibah kehidupan seperti kematian orang yang kita cintai, jatuh ke lembah papa setelah mengalami hidup layak, atau perasaan takut bahwa hal tersebut akan menimpa kita. Ini diterangkan oleh Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 155, "Dan sungguh Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berilah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." Kabar gembira buat orang yang bersabar, "Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi raaji'uun. (Sesungguhnya kami berasal dari Allah dan kepada-Nya kami akan kembali.)" (Q.S. 2/Al-Baqarah: 156). Adapun balasan bagi orang yang sabar adalah keberkahan, kesempurnaan, rahmat dan petunjuk dari Allah. \"Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabar sajalah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.\" (Q.S. 39/Az-Zumar: 10). Allah SWT akan mencukupkan pahala bagi orang yang sabar itu tanpa batas. Kemenangan Rasulullah SAW dalam perjuangan menegakkan Islam adalah buah dari kesabaran.

6. Tidak takabur (‘adamul bathr) Alhamdulillah, patut kita syukuri bahwa jamaah dakwah kita yang telah menjadi institusi formal bernama Partai Keadilan Sejahtera banyak mendapat sambutan hangat yang luar biasa dari masyarakat. Tidak ketinggalan segudang julukan terhormat disematkan pada partai kita. Namun, sambutan, julukan, dan gelar tersebut sudah barang tentu tidak sampai menyebabkan kita menjadi besar kepala. Ingat, kekalahan kaum muslimin di perang Hunain justru di saat kaum muslimin berperang dalam jumlah pasukan yang besar. Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka, "Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu." (Q.S. 9/At-Taubah: 46). Penyebab kekalahan tersebut dikarenakan sifat ujub berlebihan. Yang terpenting bagi kita adalah menggiring sambutan, julukan dan gelar masyarakat tadi menjadi benar-benar memenangkan partai ini pada pemilu mendatang.

7. Ikhlas (‘adamu riya’) Ikhlas, titik. Itu mungkin kata kunci yang akan menyelamatkan amal kita di akhirat kelak. Inilah sifat yang amat dikhawatiri para sahabat Rasul SAW. Termasuk kekhawatiran Abu Bakar Ash-Shiddiq tentang hal ini, sehingga beliau senantiasa berdoa dan berlindung dari sifat riya’ ini, “Allahumma inna naudzu bika min annusyrika bika syai’an na’lamuh wa nastaghfiruka lima laa na’lamuh.” Ikhwah dan akhwat fillah rahimakumullah, Demikianlah, sejatinya mai’yatullah itu akan menumbuhsuburkan optimisme dalam diri kita dalam menyongsong kemenangan dakwah. Terlebih, ketika ma’iyatullah itu dibingkai dalam akhlak harakiyah yang tercermin dalam Surat Al-Anfal di atas.

Akhirul kalam billahi taufiqi wal hidayah.