Sabtu, 08 Mei 2010

Sekali Lagi, Tentang Amanah !!

Ashar telah lewat, beberapa jamaah telah berlalu. Sejenak ku rebahkan tubuh penat ini berharap asam laktatku bekerja cepat mengusir rasa letih yang menghinggapi setiap persendian antar tulang. Sesosok tubuh yang ku kenal terpekur dalam diamnya di pojok masjid. Beberapa kali pundaknya bergetar, dan lirih terdengar sesenggukkan. Dia menangis ? batinku bertanya tanpa jawab. Rasanya ingin menghampirinya, bertanya tentang beban berat yang di tanggung pundaknya. Namun kubiarkan sosok tadi terpekur dalam diamnya. Biarlah Allah sebagai sandaran, kalaupun ini takdirku untuk memberikan sedikit pundakku mengurangi beban yang ia tanggung, aku akan segera menjinjingnya.

Aku masih mencuri-curi pandang dalam rehatku. Sesenggukkannya berhenti, tangannya bergerak mengusap wajah. Nafas panjang ia hirup dalam, kulihat dari pundaknya yang mengembang. Ia selesai dalam diamnya, menoleh dan berdiri. Ia melihatku berbaring, lalu berjalan menghampiri dengan sebuah senyum yang kentara sekali dipaksakan. Ku balas senyumnya dengan lebih lebar lagi. Aku segera bangkit , membenarkan posisi dudukku.

Assalamu’alaikum Akhi, kaifa haluk ? makin subur aja nih antum”, sapaku ringan. Senyumnya lepas ketika menyawab salamku.

Alhamdulillah Mas Doni, baik. Dari mana nih Mas, tumben ...”, nada suaranya terdengar berat. Ah, apa aku yang sensitif ya.

Habis ngajar di SDIT, Dek. Antum Sehat ?”, sudut matanya menyisakan bening yang belum terhapus. Sinar matanya meredup mengikuti pandangnya yang menunduk. Senyumnya kembali kecut.

Ia merubah posisi duduknya, menghadapku. “ Mas, apa sih hukumnya menolak amanah?” matanya dalam, ada riak dalam muaranya. Aku masih meraba duduk permasalahannya. Rupanya, keterpekurannya tadi masih menyisakan suatu persoalan. Apakah sedemikian rumit benang kusut yang mengikat pikiran yang biasanya cemerlang ?

Tergantung, Dek”, diam. Alis matanya terangkat, tanda penasaran berputar di jidatnya.

Senyumku semakin lebar. Lega dia merespon kalimat pertamaku.

Kalau amanah yang akan di berikan pada seseorang tersebut merupakan hasil keputusan musyawarah, dan tidak ada orang lain yang di khuznudzoni lebih baik maka seseorang itu haram hukumnya menolak amanah tersebut.” aku terdiam, menunggu reaksinya. Alis yang menghiasi wajahnya semakin tertekuk penasaran.

Apa ini ada kaitannya dengan amanah antum di Kampsu, Dek ?” aku mencoba mengalihkan rasa penasaran dengan sebuah pertanyaan investigasi, lembut namun mampu menambah kekacauan benang ruwet yang mengikat isi kepalanya. Wajahnya berubah. Bimbang.

”Cerita saja, kalau memang ada masalah”, ucapku memberikan rasa kepercayaan dan kenyamanan. Wajahnya kembali terangkat, menatap dalam isi bulatan mataku.

Mas, misalnya ada seseorang yang tiba-tiba mendapatkan qoror untuk memegang sebuah amanah yang dia sendiri merasa tidak sanggup untuk menanggungnya dan tanpa ada konfirmasi terlebih dahulu, sehingga kesannya hanya one bottom line saja. Apakah boleh ketika kondisinya seperti itu, dia menolak amanah yang diberikan ?” akhirnya aku bisa menebak ujung-ujung benang yang sedari tadi mengikat isi pikirannya.

Sekali lagi tergantung, Dek...”, aku membuat jeda kalimat lagi. Wajahnya semakin serius. Kutarik nafas perlahan, tak kentara tanpa desah.

Kalau konteksnya amanah ini sebagai seorang mas’ul (penanggungjawab) suatu forum atau dalam lingkup kampus adalah pimpinan, dan keputusan ini merupakan hasil dari sebuah rumusan musyarawah panjang yang digagas oleh para mas’ul-mas’ul kita diatas, dan dengan pertimbangan tidak ada lagi orang yang bisa di khuznudzoni bisa, mampu dan sanggup untuk menjabatnya, maka tidak ada alasan lagi dia untuk menolak amanah tersebut. ”, kalimatku belum selesai. Wajahnya mulai tidak tenang, ada penolakan pada bait-bait kata yang kusampaikan, terlihat jelas dari sorot matanya.

” Tapi Mas, kan yang lebih tahu kekurangan dan kelebihan itu adalah dirinya sendiri. Bisa jadi dia memang tidak pantas untuk mendapatkan amanah yang di khuznudzonkan kepadanya. Bukankah ini justru akan memperburuk keadaan, Mas ?”

Ya, akhi...saya sepakat. Namun, pahamkah antum hakikat sebuah dakwah ? hakikat sebuah jama’ah..? dan hakikat seorang jundiyah dan qiyadah ? ”, lagi-lagi aku memberi jeda. Memandang dalam seberapa tajam penangkapan setiap bait kata yang kusampaikan. Pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak kubutuhkan jawaban lisan.

Saya tidak bisa membayangkan saat Rasululloh benar-benar tidak mau membaca ’Iqro...’ saat Jibril memintanya untuk membaca. Rasululloh sadar, bahwa beliau seorang yang Ummi. Belum tahu apa yang akan di tanggungnya kelak. Sampai turun Surat Al Mudatsir, beliau semakin mengokohkan hati dan langkah kakinya untuk memperjuangkan Risalah yang ditakdirkan Alloh kepadanya. Dan juga para sahabat, andai saja mereka hanya berdiam diri saja di Jazirah Arab, maka mungkinkah sampai Risalah Islam di negeri tercinta kita ini. Jadi intinya kembali kepada Hakikat Dakwah, Jamaah dan Qiyadah”

Saya hanya takut ketika ditinggalkan sendirian, Mas !” sebuah kalimat tiba-tiba meletuskan segenap perasaanku, memuntahkan bongkahan-bongkahan memori masa lalu, saat aku juga merasa takut sendirian dalam memegang amanah di ranah Siyasi Fakultas. Saat para Mas’ul dengan entengnya menyerahkan amanah tanpa ada transfer segala informasi tentang dunia siyasi fakultas yang memang baru pertama kali aku jajahi. Kemudian aku menyendiri untuk beberapa saat, sampai muncul beberapa sahabat yang rupanya siap mengangkat beban amanah ini bersama-sama dalam sebuah kabinet BEM FKIP UNS.

Akhi, bukankah kita masih punya Alloh ?” kalimat ini sering kali kutanamkan kuat pada para binaanku saat mereka merasa lelah, menyerah dan hanya bisa mengeluh.

Hakikat dari dakwah itu sendiri, bukankah kita menyeru manusia kepada jalan Alloh, apalah artinya seruan kita ketika kita sendiri tidak memahami dan tidak menyelami sampai dalam untuk apa kita berdakwah, dan untuk siapa ? ”, wajahnya kembali menunduk, tepian-tepian matanya yang ditanami rambut-rambut halus berusaha kuat membendung air yang akan banjir.

teringat saya pada apa yang disampaikan Ustadz Al Banna. Apa yang harus kita lakukan saat kita bergabung dalam jama’ah dakwah ini, pertama dan yang paling utama adalah kita memahami Islam secara benar dan menyeluruh. Tanpanya, kita berjalan tanpa tahu tujuan untuk apa kita melangkah dan kemana arah kaki kita diayunkan. Dari sinilah diturunkan bai’at-bai’at yang lain, yaitu keihlasan. Tanpanya, langkah kita hanyalah kesia-siaan belaka di hadapan Alloh. Barisan yang kita susun akan segera terlibas tanpa bekas, dan energi kita akan segera ludas. Kemudian yang ketiga adalah janji kita untuk senantiasa beramal, beraktivitas di jalan dakwah, tanpa jeda, tanpa rehat kecuali untuk menyusun siasat. Sebelumnya telah jelas langkah awal kita memulai dan telah jelas pula tujuan akhir perjalanan. Semuanya bermula dari diri sendiri, dan berakhir pada membuminya Islam di tanah semesta.

Kemudian janji untuk senantiasa berjuang di jalan yang sudah di tetapkan-Nya, mendobrak segala macam dinding yang kokoh menghalangi rute perjalanan kita, bahwa inilah yang menjadi neraca untuk menimbang seberapa besar iman kita dalam menjalani hari-hari dalam jalan dakwah. Lalu yang selanjutnya adalah pengorbanan dengan segala yang dimiliki demi tercapainya tujuan perjalanan kita, yaitu meraih tujuan suci dan syurga-Nya Alloh. Kemudian sebisa mungkin untuk berjanji taat sesuai dengan tingkat kemampuannya dan berjanji tetap tegar menghadapi segala kondisi yang siap menghadang di tengah perjalanan kita. Dari itu semua akan muncul rasa untuk memberikan loyalitas secara total bagi dakwah ini dengan melepaskan diri dari keterikatan terhadap yang lainnya. Semua itu membutuhkan kebersamaan dalam bingkai ukhuwah dan kepercayaan kepada pemimpin dan barisannya “, aku terdiam beberapa saat. Menyesali apa yang kukatakan seakan-akan menggurui. Segera kutarik nafas panjang dan dalam, melepaskan bersama beban rasa yang menggantung. Kulihat tatap matanya. Menungu untuk melanjutkan. Menungu ada jawaban.

“ Tapi Mas, rasanya cuma ada yang mengganjal saja di hati ini. Merasa berat, Mas“

“ Dakwah memang akan terasa lebih berat saat kita hanya memandangnya saja, Dek. Bisa jadi selama ini kita selalu memberikan kritikan dan komentar kepada Mas’ul kita yang beramal kurang optimal dalam amanahnya. Dan bisa jadi kita yang berposisi sebagai Jundi hanya bisa menuntut. Sehingga ketika ada sebuah tawaran atau lebih ekstrimnya adalah penunjukkan kita menjadi seorang pemimpin, kita justru terbayang-bayangi dengan segala tuntutan dan kritikan yang pernah kita lontarkan.” Aku merubah posisi dudukku.

Kembali kulanjutkan perkataanku, “Bukankah semakin tinggi kita naik sebuah pohon, maka terpaan dan gangguan akan semakin berat juga, Dek ? “, kutatap kembali di dalam matanya, ia alihkan sekilas mencoba menghindari tatapanku.

Namun, cobalah pandang di sekeliling kita saat kita berada di atas puncak ? Pemandangan luas yang tidak pernah kita lihat sebelumnya ketika kita masih berada di atas tanah saja. Begitu pula hakikat sebuah jenjang kepemimpinan. Semakin kita naik, akan semakin luas pandangan kita dalam melihat dan memecahkan permasalahan yang ada. Insya Alloh, kita akan semakin di kuatkan Alloh saat kita berada dalam sebuah posisi pemimpin, jika kita bertakwa.” Kulihat masih ada keraguan yang membayangi wajahnya. Aku hanya bisa tersenyum.

“ Namun yang jelas, segala keputusan kembali kepada antum, apakah ketika ada sebuah tawaran amanah kampus, akan antum ambil atau tolak. Pertimbangkan dulu, minta petunjuk Alloh. Kalau memang ke depannya yang antum kawatirkankan adalah mengenai perkuliahan antum, itu khan permasalahan tekhnis di lapangan saja, tinggal bagaimana kita mengatur kembali jadwal harian kita ketika sebuah amanah berat di berikan kepada kita”

“ Ya Mas, Syukron Jazakalloh khoiron”,

“Afwan”

“ Ane tak pulang dulu, Mas. Persiapan Mabit nanti malam. Assalamu’alaikum..!!“

“ Wa’alaikumussalam warohmatullohi wabarokatuuh “, ku lepas kepergiannya dengan senyuman.

Allohu Robbi, semoga apa yang kukatakan tadi juga mengingatkanku agar semakin memantapkan hati di Jalan-Mu.. “Robbana Laa Tuzigh Qulubbana, Ba’da Idz Haddaitana, Wahabblana Miladunka Rohmah, Innaka Antal Wahhaab...”

Wallahu'alam