Senin, 06 Desember 2010

Ada yang di Kenang, Ada yang Tidak untuk di Kenang

Oleh : Cahyadi Takariawan

Apakah ada artinya logo atau simbol bagi kita ? Mungkin ya, mungkin tidak. Ka’bah itu simbol penyatuan kiblat umat Islam di seluruh dunia. Saat kita shalat, sudah pasti tidak menyembah Ka’bah, walaupun shalat kita persis di depan Ka’bah. Kita semua menyembah Allah, tidak pernah menyembah selainNya. Namun Ka’bah diperlukan sebagai simbol yang menyatukan arah kiblat umat Islam seluruh dunia. Ka’bah diperlukan sebagai simbol posisi kemana menghadapkan arah saat shalat, kendati telah dinyatakan Allah bahwa laisal birra an tuwallu wujuhakum qibalal masyriqi wal maghrib, bukanlah kebaktian itu menghadapkan wajahmu ke arah barat atau timur. Ka’bah juga diperlukan untuk pusat penyatuan arah saat menunaikan ibadah haji, dimana kaum muslimin menunaikan thawaf mengelilingi Ka’bah.

Dalam konteks ini, kita mengatakan bahwa simbol itu penting. Simbol telah menyatukan arah kiblat, pada suatu titik. Jika dilihat dari langit yang paling atas, saat umat Islam seluruh dunia menunaikan shalat akan tampak komposisi yang tentu sangat indah. Semua menghadap ke satu titik, dimanapun mereka melakukan shalat. Dan titik itu adalah Ka’bah. Dibandingkan dengan besar dan luasnya alam semesta ini, Ka’bah tentu hanya benda kecil, tiada arti dan tiada bandingannya sama sekali. Namun dilihat dari segi makna, ternyata memiliki nilai yang sangat besar bagi umat Islam. Jadi, Ka’bah itu penting. Satu sisi, kepentingannya karena dinyatakan dalam Al Qur’an, namun pada sisi empiris, karena realitas yang kita lihat Ka’bah telah mempertemukan kaum muslimin dari seluruh dunia. Ka’bah bukan semata simbol, namun sekaligus esensi.

Dalam konteks bisnis, simbol yang dimiliki setiap perusahaan menjadi penting untuk kemudahan pemasaran. Tingkat awareness masyarakat terhadap simbol produk atau simbol perusahaan sangat menentukan daya saing di pasaran. Itulah sebabnya perusahaan rela mengeluarkan banyak biaya untuk iklan, agar pasar semakin mengenal dan akrab dengan ikon produk dan perusahaan masing-masing. Satu buah huruf yang dipampang besar-besar di pinggir jalan, sudah mampu mengingatkan masyarakat kepada produk atau perusahaan tertentu.


Dalam konteks politik, simbol partai politik menjadi penting untuk bisa dikenal dan dipilih masyarakat. Saat Indonesia menerapkan kebijakan tiga partai politik peserta Pemilu, maka masyarakat mudah mengenal dan mengingat simbol setiap parpol. Namun ketika parpol mencapai lebih dari 40, maka akan sangat sulit bagi masyarakat untuk menghafal satu persatu simbol dan nama parpol yang ada. Maka bersainglah parpol mengenalkan simbol, logo, warna dominan, nomor urut partai kepada msayarakat pemilih. Kenyataannya, masyarakat banyak dibingungkan oleh warna dominan yang sama atau mirip, simbol parpol yang mirip, yang membuat banyak terjadi salah pilih. Dalam konteks ini, simbol juga menjadi penting, walaupun yang lebih penting adalah kualitas dan kinerja parpol tersebut.

Jika anda seorang tokoh masyarakat, atau seorang aktivis dakwah, atau pekerja sosial, yang banyak bekerja dan berbuat untuk masyarakat, apakah penting bagi anda untuk menciptakan simbol yang menyebabkan orang selalu mengingat kerja dan kebaikan anda ? Simbol bisa anda buat dalam bentuk nama yayasan, nama lembaga pendidikan, nama lembaga sosial, nama lembaga kajian strategis, nama gang, nama jalan, nama kampung, nama pesantren, nama perpustakaan, dan nama-nama lainnya yang berhubungan dengan masyarakat. Simbol bisa anda buat dalam bentuk patung diri anda, atau monumen yang memuat semua tanda jasa, tanda prestasi, tanda penghargaan, tanda pengabdian anda kepada negara dan bangsa.

Memonumenkan simbol tidak sulit di negara kita. Sangat mudah membuat Yayasan Fulan, Museum Fulan, Jalan Fulan, Perpustakaan Fulan, atau Fulan Center. Apakah ini salah ? Saya kira bukan soal benar atau salah, tapi soalnya adalah apa yang kita inginkan dengan monumenisasi nama dan prestasi tersebut, dan apa yang akan kita lakukan dengan monumen-monumen tersebut. Seberapa penting monumen bagi aktivitas kita ? Untuk tujuan apa monumenisasi kita lakukan ?

Bagi saya, karya yang paling monumental adalah kader. Begitu seseorang atau suatu organisasi perjuangan telah mencetak kader yang siap meneruskan garis perjuangan para pendahulu, itulah karya monumental. Kader dengan sendirinya menjadi monumen hidup, yang siap mencetak karya berikutnya dan kader berikutnya. Sepanjang sejarah perjuangan, bertebaranlah kemilau karya dari para kader yang terus berbuat, terus bergerak, terus berkontribusi di tengah masyarakat.

Nama diri kita tidak dikenang orang, pekerjaan bertahun-tahun mencetak kader tidak akan tertulis dalam buku sejarah, namun hasilnya sangat nyata dan tak bisa diingkari keberadaannya. Kader menyebar cepat dan masuk ke seluruh bidang kehidupan, menebar kebaikan, mencetak prestasi amal, menyumbangkan tenaga, pikiran, waktu, harta bahkan jiwa mereka untuk tercapainya tujuan perjuangan. Kader tidak perlu dimuseumkan, kader tidak perlu disimbolisasi menjadi patung atau tugu monumen, karena kader telah bekerja untuk mencetak prestasi amal, mencetak amal terindah yang mampu mereka torehkan bagi peradaban.

Pekerjaan mencetak dan membina kader tidak membuat anda menjadi terkenal dan dikenal. Tidak akan diakses media, tidak akan dijadikan rujukan pertanyaan wartawan. Berbeda dengan pekerjaan di ranah publik, yang memungkinkan pelakunya menjadi terkenal bak selebritis. Kedua aktivitas tersebut sama-sama diperlukan dalam kehidupan, dan tidak boleh dipertentangkan satu dengan lainnya. Keduanya memiliki kontribusi kebaikan bagi upaya mencapai tujuan perjuangan.

Suatu saat, Umar menyampaikan kepada para sahabat beliau, “Tamannau, bersobsesilah kalian”. Maka para sahabat mulai menyampaikan obesesi mereka. Ada yang mengatakan, ”Aku sangat ingin memiliki emas yang memenuhi rumah ini untuk aku infaqkan fi sabilillah”. Sahabat lain juga menyampaikan obsesi mereka masing-masing. Setelah semuanya menyampaikan, mereka bertanya kepada Umar, ”Apakah obsesimu ya Amiral Mukminin”. Jawab Umar, ”Aku sangat ingin rumah ini dipenuhi oleh kader sekualitas Abu Ubaidah Al Jarrah”. Luar biasa obsesi Umar. Obsesi tentang kader yang handal, kader yang berkualitas, namun juga kader yang banyak.

Kader bisa menjadi simbol, apakah sebuah pergerakan memiliki kehidupan atau sudah mati. Namun kader bukan hanya simbol, kader adalah esensi. Kader yang banyak bisa didistribusikan potensinya di berbagai bidang, ada yang di ranah publik, ada pula yang di ranah ”domestik”. Ada jenis pekerjaan yang berorientasi publik dan oleh karena itu memerlukan tolok ukur dan parameter publisitas. Ada jenis pekerjaan yang bercorak domestik dan oleh karena itu sepi dari dunia publisitas. Keduanya saling bertautan dan saling menguatkan. Pada keduanya diperlukan kader yang tepat. Pada keduanya diperlukan kefahaman dan keikhlasan. Pada keduanya diperlukan kesungguhan dan prestasi.

Selamat berkarya.

http://cahyadi-takariawan.web.id

Rabu, 01 Desember 2010

Aku : Di Ujung Hari

Aku berdiri di semenanjung harapan yang teronggok masygul. Deretan panjang cakar-cakar daratan menancap dalam tubuh laut yang beriak ombak. Angin darat punya kuasa disini, ia menjadi raja saat senja mulai tiba. Mengembangkan layar-layar lusuh selusuh kain yang melekat di tubuh kurus lelaki-lelaki penghuni pantai, membungkus tubuh dengan kulit coklat gosongnya.

Langkah ini telah sampai di ujung daratan. Namun perjalanan ini, belumlah usai. Mimpi-mimpi itu masih berlanjut, mengurai kusut jalinan jejak yang tertempuh pada kesadaran dari ilusi panjang. Matahari takkan pernah mati, sepanjang janji pada Tuhannya masih terpatri untuk selalu menemani bumi.

Tanpa terasa, langkah ini menyeretku jauh dari pusaran cinta sang Penguasa. Bagai buih-buih yang terombang-ambing di tepi pantai, menabrak pasir-pasir kemudian menguap menghilang. Lenyap. Dalam samudera yang luas terbentang, rasanya : tidak ada lagi gemercik embun penyegar jiwa, membasahi hati sepanjang masa-masa yang telah ku jejaki kini. Haus, di antara gelombang-gelombang lembut membelai pasir-pasir pantai. 

Masa ketundukan itu mulai senyap, berlalu seperti hembusan angin di padang gersang, membawa tiap tetes terakhirnya menuju ketiadaan. Hampa.

Diatas sana, senyum rembulan mulai nampak. Mengintip dari balik rona-rona warna kelabu bayangan senja. Membias pada riak-riak ombak memecah pantai. Dan aku masih di sini, berdiri menatap bayang diri. Menata ruang-ruang memori yang tersusun rapi di lokus-lokus otakku. Bertanya di kedalaman dasar hati, tentang arti perjalanan selama ini.  

Apakah aku telah mengukir cinta-Nya dalam hatiku dan menjadikannya monumen yang mengekal dalam singgasana hatiku?
Apakah aku telah menanam syariat-Nya dalam tiap lahan perjalananku dan menumbuhkannya menjadi hamparan hijau ketaatan tanpa satupun hama dosa sanggup hinggap merugikannya?
Apakah aku telah mendapatkan semua yang aku inginkan melalui do’a-do’a dan menjadikannya sebuah keberuntungan yang terwujud tanpa satupun meleset dari perkiraan hingga tak ada lagi kekhawatiran antara aku dengan Tuhanku?

Sungguh : konspirasi makhluk dan hawa nafsu telah menjadikannya pembantah yang nyata, mengikuti keinginan melebihi kebutuhan, memasuki dimensi keterbebasan dalam syariat yang menuntut pertanggungjawaban..

Akal licikkah ini? sebuah trik berbelok dari jalan yang lurus untuk sebuah rihlah jiwa dalam lembah ketidaktaatan… 
Memalukan…
Kepalsuan besar dibungkus kemasan paling elegan, drama topeng diatas panggung sandiwara melakonkan kisah kemalasan dan kesia-siaan dan berharap happy ending..

Realitas semu di altar kepalsuan para penyembah hawa nafsu, tak lebih sebuah onggokan daging busuk menunggu dilempar ke mulut serigala. Ketercapaian seperti prestasi di puncak tertinggi, berbangga diri membusung dada sepanjang arena, syukur lisannya telah melegitimasi keberhasilannya adalah karena usahanya, bukan karena kehendak-Nya.


Padahal disana… 
Didalamya.. 
Diantara nafsu yang membelit : ada jiwa yang kering sedang meronta butuh air, gemertak kegersangannya mengepulkan hawa panas, terasa berdenyut tak henti sampai ke ubun-ubun. Hati yang hitam legam karena kemaksiatan, tak lagi mampu menerima cahaya kebenaran meski kepala mengangguk-angguk seribu kali…

Naif!

Jiwa itu memenjarakan dirinya dalam rutinitas yang makin kering, keindahannya hanya ada ketika fajar dan lenyap bersama naiknya sang mentari ke penggalan hari. Langkahnya gontai disapu angin sepi, diperjalanan kemarau paling terik, menuju sebuah titik lontar : langsung ke neraka….

Astaghfirullahal’adhim…

Bahkan seribu cermin tak kan mampu membuka aib diri, gajah dipelupuk matapun tak akan pernah tampak ….

Rabb… tak ada dariku keterlepasan pada kebutuhan akan cinta-Mu, seperti mahluk daratan butuh udara untuk bernafas, MUTLAK!

Alangkah indahnya hari ketika rajutan cinta itu bergelayut memanjang dan makin rapat, tak satupun celah memungkinkan untuk berlalunya detik tanpa cinta-Mu, karena Engkau adalah segala-galanya yang menjalinkan cinta dalam pergerakan semesta. 

Tapi mengapa seribu hujan tergores di lembar kehidupan berlalu begitu saja… 
: dan aku masih kekeringan…

Rabb… aku ingin hujan itu membuatku terbangun dari keterlenaan ini…
Menyegarkanku, menghidupkan kembali hati yang mati…
Memekarkan bunga-bunga kehidupan berwarna-warni, yang harumnya menyeruakkan wangi. 

Bersama kupu-kupu ku akan sanggup meneruskan jalan takdir yang masih harus di lakoni. Karena-Mu... sungguh karena-Mu...!!