Selasa, 16 Agustus 2011

Lukisan Cinta di Hamparan Langit


Bahagia !?

Dalam sejarah perjalananku, tak lagi kutemui kata itu di lembaran kamus hidup. Entah kapan terakhir kali aku menemukan kata itu, yang ketika aku membacanya membuat getar-getar aneh dalam jiwa, merambat hingga memecahkan bendungan air mata. Sudah kucoba untuk mencarinya, namun yang kutemukan hanya kata-kata yang justru semakin membuat jiwa ini sempit. Kecewa, marah, sedih, dan luka. Entah untuk siapa.

“Ini resepnya di tebus di apotek depan, dan mohon untuk sementara ini jangan melakukan aktifitas yang berlebihan dulu, banyak-banyak istirahat. Dan ini surat keterangan dokter untuk di sampaikan guru olah raga, semoga dapat keringanan untuk sementara tidak ikut kegiatan olah raga dulu di sekolah”, aku menerima selembar kertas dengan tulisan yang hanya penulis dan petugas apotek saja yang bisa memahaminya kemudian berubah wujud menjadi berkantung-kantung bungkus obat. Ada enam bungkus, berarti ada enam obat yang harus aku konsumsi untuk sekali makan. Berbungkus-bungkus obat itulah yang mendampingi hidupku hampir empat tahun terakhir semenjak dokter memberikan vonis kepadaku. Jantung bocor !

Ah, siapa yang menginginkan hidup dibayangi kematian ? siapa yang menginginkan hidupnya ditemani kesakitan ? 

Tidak ada ! gadis sepertiku seharusnya saat ini sedang menikmati ice cream di taman-taman kota sambil mengobrol dengan teman-temannya. Atau sedang cuci mata di mall yang menawarkan berbagai macam produk pendukung penampilan menarik. Atau sedang menonton film terbaru di bioskop. Tapi aku masih di sini, dikamar sempit yang tertutup. Bersembunyi dari kematian dengan berbagai macam obat yang berserakan di atas meja. 

Aku masih ingat betul, empat tahun yang lalu, saat aku masih aktif sebagai pasukan paskibraka di SMP. Gadis cantik dengan tubuh tinggi semampai, berkulit cerah dengan rambut hitam lurus yang sehat, dan menjadi pusat perhatian teman laki-laki.  Saat itu, siang begitu terik, tanpa ada mendung yang menghalau panasnya matahari. Kami berbaris rapi melakukan latihan rutin seperti biasanya. Saat melakukan gerakan jalan di tempat, menyamakan kaki agar membentuk barisan dengan kekompakan yang berirama. Tiba-tiba dada ini mengejang. Sesak terasa. Nafas tersenggal. Sampai sebelum kegelapan mengakhiri, ribuan kunang-kunang menghampiri di atas kepala.

Ketika sadar, mata ini silau menangkap jutaan cahaya. Putih. Dan hanya putih yang kudapati. Perlahan bayang-bayang hitam mendekat, semakin jelas dan muncul dengan jelas satu wajah yang sangat ku kenal. Wajah dengan lukisan yang tak akan laku jika di jual, lukisan kesedihan. Pipi basah ibu mendarat di wajahku.

“Kamu akan baik-baik saja, sayang”, ibu terisak. Membelai lembut setiap helai rambutku. Wajahku mengernyit. Suara ibu benar-benar menyadarkanku. 

Apa yang terjadi ? ada apa denganku ? dimana aku ? tiba-tiba nafas terasa sesak. Tanganku bergetar hebat, merambat ke dada, turun ke kaki, dan sekarang setiap jengkal tubuhku bergetar. Aku berguncang, nafas tersenggal satu-satu.

“Naak, kenapa ini ?! Dokteerr..!!”,  suara ibu semakin mengecil. Dan semuanya kembali gelap.

Sejak saat itu, hampir semua aktifitasku dibatasi. Tidak boleh banyak jalan apalagi lari. Pulang pergi sekolah sudah ada Pak Jhoni dengan mobilnya. Setelah bell terakhir berbunyi, aku tidak bisa pergi kemana-mana, harus sudah duduk manis di dalam mobil, dan pulang. Tidak ada lagi acara ngumpul dengan teman-teman, tidak ada lagi acara jajan di depan sekolah sambil nongkrong dan menggoda teman-teman cowok yang keren, tidak ada lagi acara baris-berbaris, tidak ada lagi acara jalan-jalan di mall sepulang sekolah. Sejak saat itu, dunia bukan lagi milikku. Hari-hariku hanya berputar di antara tiga tempat. Rumah, Sekolah dan Rumah Sakit. Tak ada lagi kata bahagia, tak ada lagi ada senyum ceria. Untuk apa ? toh aku hanya menunggu malaikat yang akan mencabut ruh dari tubuh ringkih dan pucat ini.

Empat tahun dalam kesendirian. Empat tahun dalam persembunyian dari maut. Empat tahun tak lagi kutemukan kata bahagia dalam kamus kehidupanku.

Mobil yang di kemudikan Pak Jhoni berhenti di perempatan ketika satu dari tiga lampu paling atas menyala. Mataku tertumbuk pada sebuah taman yang hijau. Sangat asri. Terletak di pojok perempatan. Begitu luas.  Tumbuh beberapa batang pohon besar dengan dedaunan yang rimbun. Menyejukkan. Sementara di bawah rindangnya naungan pohon besar itu, terdapat lapangan berumput segar dengan bunga-bunga berwarna warni. Ada kursi-kursi taman yang cantik yang terbuat dari besi dicat berwarna hitam. Lampu-lampu bundar berwarna putih menghiasi taman itu, berdiri dengan tiang-tiang berukiran bulat-bulat. 

“Pak Jhoni, boleh mampir taman itu dulu ?”, Pak Jhoni melirik sekilas ke taman yang menyejukkan itu, kemudian menoleh kebelakang.

“Nanti Mba Desya di khawatirkan Bapak kalau tidak segera pulang.”, ujar pak Jhoni dengan mimik wajah khawatir kepadaku. Ah, selalu saja Pak Jhoni ini ikut-ikutan orang tuaku. Terlalu khawatir.
“Sekali ini saja, Pak. Nggak usah cerita-cerita ke ayah. Please, Pak. Give me a little time for my self !”, aku membalas dengan wajah memelas. Pak Jhoni menyernyitkan dahi. Kemudian tersenyum kecil. Senyum terpaksa.

Setir mobil memutar ke kanan, menuju taman yang menyejukkan itu. Masuk ke gerbang terbuka yang di pagari dengan tanaman hijau merambat. Kemudian memarkirkan di tempat yang di sediakan pengelola. Aku melangkahkan kaki keluar dari mobil, sejuk dan menyegarkan. Di bawah rindangnya pohon-pohon raksasa berdaun lebat. 

“ Pak Jhoni nunggu di mobil dulu saja ya Pak ! saya cuma duduk di kursi itu kok”, satu lagi perintahku ketika Pak Jhoni mengiringi langkah kakiku. Dengan wajah terpaksa lagi, Pak Jhoni hanya mengamatiku dari mobil. Lagi-lagi, terlalu khawatir.

Aku menuju kursi taman. Ada banyak kursi berbentuk sama di hamparan taman itu. Mengumpul di titik-titik yang berbeda. Satu titik ada empat kursi besi yang saling berhadapan, dengan satu meja ditengah. Aku mencari kursi yang paling dekat dengan latar pemandangan bunga-bunga.

“Permisi, Mbak. Numpang istirahat ya “, ujarku dengan sopan pada seorang wanita yang sedang khusyuk membaca buku kecil di kursi depanku.

“Oh, silahkan Mbak. Silahkan duduk”, tangan itu menjulur, menawarkan sebuah salam. Aku menyambutnya.
“Andin !”, wanita itu memperkenalkan diri. Wajahnya begitu menyejukkan. Lebih menyejukkan dari kerindangan pepohonan disini.

“Desya, Mbak”, ku balas senyumnya sekedarnya saja. Aku bukan tipe orang yang cukup terbuka di awal pertemuan dengan seseorang. Sehingga terkesan angkuh.

“Darimana, Mbak ?”, 

“Sekolah”, jawabku singkat. 

“Sering mampir di taman ini, ya Mbak ?”, tanyanya lagi.

“Baru sekali ini, Mbak”.

“Oh, sendirian saja Mbak ? ndak bareng teman-teman sekolahnya. Biasanya disini itu ramai lho kalau hari sabtu atau minggu. Terutama anak-anak sekolah, pernah juga saya melihat buat outbond”,

“Bareng sopir saya”,jawabku.

“Oh”, jawabnya singkat. Kemudian disusul senyum yang tak kuhiraukan.

Diam. Sikapku terkesan kurang sopan. Barangkali aku sedang tidak ingin di ganggu. Aku hanya sedang ingin menikmati taman ini, menghirup kesegaran udara disini, sendiri. Dan sepertinya wanita yang memperkenalkan diri bernama Andien itu mengerti aku sedang ingin menikmati kesendirian, ia hanya membalas dengan senyum dan melanjutkan bacaannya.

Kulayangkan pandangan ke seluruh taman. Indah. Menyejukkan.beberapa kursi diduduki pasangan muda-mudi, beberapa anak kecil berlarian, sementara ibunya seperti berteriak-teriak mengingatkan kenakalan anaknya menabrak tong sampah.  Namun lirih-lirih kudengar Andien seperti sedang bersenandung. Entah melantunkan lagu apa, begitu enak di dengar. Dan menentramkan. Aku melirik sekilas, bukan buku yang ia baca. Dia sedang membaca Al Quran. 

“Kecil sekali Qur’annya. Apa kelihatan ?”, pikirku. Andien begitu tenang sekali membacanya, begitu menikmati, begitu menyejukkan memandang wajah teduhnya. Jantungku berdetak cepat, dada terasa bergetar, tubuhku berguncang, dan air mataku tumpah. Ada apa ini ?

“Mbak Desya, ndak apa-apa ?”, suara Andien terselip diantara deru sesenggukkan nafasku. Aku mengusap pipi yang basah.

“Ndak apa-apa, Mbak. Terima kasih”, ujarku menyembunyikan wajah.

“Ini Mbak”, Andien mengulurkan selembar tissue putih. Wangi. 

“Jujur. Sudah lama sekali saya tidak mendengar Al Quran dibaca dengan suara semerdu itu. Entah kenapa tadi tanpa sadar saya begitu menikmatinya, sampai-sampai saya menangis.”, Andien memfokuskan wajahnya, memandang lembut wajahku.

“ Saya iri melihat Mbak. Saya iri melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajah Mbak. Saya iri karena selama ini saya tidak pernah melihat wajah-wajah kebahagian seperti itu mampir pada diri saya”, Kata yang selama ini kucari pada kamus hidupku ternyata telah kudapati pada diri Andien. 

Andien masih terdiam. Ketika aku tak melanjutkan kata-kata, dia tersenyum. Manis sekali, dan menyejukkan.

“Mbak, setiap orang punya kisah dan kehidupannya masing-masing. Dan setiap orang punya caranya sendiri untuk mendapatkan kebahagiaan. Ada yang dengan harta melimpah seseorang menjadi bahagia, ada yang dengan wanita cantik atau suami ganteng kemudian ia bahagia, ada yang dengan posisi pekerjaan yang mapan ia kemudian bahagia, namun ada juga yang hanya dengan hidup sederhana ia bisa merasakan kebahagiaan.”

“Lalu bagaimana cara Mbak menemukan kebahagiaan itu ?”, aku terusik, ingin rasanya segera menemukan jawaban atas segala tanya tentang kata bahagia.

“Semua sumber kebahagiaan itu ada disini, Mbak”, Andien melebarkan senyum, mengepalkan tangannya lalu menepuk-nepuk ringan didadanya.

“Lalu apa yang membuat Mbak bisa bahagia ?”

“Syukur. Adalah satu cara kita mendapatkan kebahagiaan, Mbak. Ikhlas atas kehendak yang Allah berikan. Menerima atas takdir yang telah di gariskan. Dan menikmati setiap kisah kehidupan kita entah itu suka ataupun duka sebagai sahabat dalam perjalanan di dunia yang sementara ini.”, aku hanya bisa terdiam. Mencerna setiap kalimat bijaknya. Menelan hingga merasuk dalam jiwa. Ya, Syukur. Hal inilah yang seringkali aku lupakan. Bahkan aku sendiri lupa bagaimana caranya bersyukur. Do’a-do’a kepada tuhan yang tak lagi aku ajukan karena kecewa atas sakit yang aku derita. Sujud-sujud penuh kesyukuran yang tak lagi aku kerjakan karena aku marah pada tuhan.

“Maaf Mbak Desya, saya ada janji di tempat lain. Semoga lain waktu kita bisa berjumpa lagi. Saya duluan, Mari”, 

“Terima kasih nasehatnya, Mbak”, Andien tersenyum, kemudian menyalamiku. Sejenak kemudian dia berdiri dengan bantuan kruk yang sedari tadi tertutup oleh jilbab panjangnya. Dan melangkah meninggalkanku sendiri dengan langkah tertatih.

Baru beberapa langkah ia menengok ke belakang,

“Oh ya, Mbak. Satu hal lagi yang membuat saya paling berharga, bahwa saya adalah hamba Allah”, tersenyum teduh, melangkah tertatih, kemudian menghilang di balik rerimbunan hijaunya taman.
Aku menarik nafas panjang, menghirup sebanyak mungkin udara taman dan mengumpulkannya memenuhi setiap ruang alveolus paru-paru. Menghembuskan pelan. Semuanya ada disini, di hati ini.

Ku tengadahkan kepala, menatap langit luas yang dihiasi oleh kumpulan awan-awan yang menawan.

“Tuhan, Engkau selalu saja menghadirkan lukisan langit yang begitu menawan. Namun aku tak pernah menyadarinya”