Rabu, 30 Mei 2012

Jilbab Syar'i Anggun Cantik


dakwatuna.com - Apakah Jilbabku Jilbab Syar’i bacalah uraian berikut:

Saudariku yang baik hati, yang cantik yang manis, kehadiran tulisan ini merupakan bentuk kepedulian kepada muslimat seluruh Nusantara, sebab roda era globalisasai tak terhenti sedangkan beribu rayuan model pakaian, jilbab bermunculan.

Subhanallah jilbab itu adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul. Jilbab itu ‘iffah (kemuliaan). Jilbab itu kesucian. Jilbab itu pelindung. Jilbab itu taqwa. Jilbab itu iman. Jilbab itu haya’ (rasa malu). Jilbab itu ghirah (perasaan cemburu). Tak kan ada rasa sesal maupun kecewa sedikit pun memakai jilbab ini. Kesetiaan pada jilbablah yang harus dilekatkan di hati.

Allah berfirman:
‘’….. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. (QS. An-Nisa ayat 13)

Wahai para muslimah jika kita mentaati perintah Allah dan rasul maka kelak akan mendapatkan syurga Allah SWT. Ayat di atas dikutip dari surah an-Nisa yang berarti wanita , perhatikanlah dalam al-Quran tertera surah wanita sedang surah lelaki tidak ada, ini bertanda bahwa wanita bisa mempunyai peran penting dalam menempuh kehidupan dan kemajuan Islam tetapi wanita bisa juga menjadi sumber fitnah terbesar jika tidak mentaati kaidah-kaidah Allah dan Rasul-Nya.

Hijab dan Jilbab adalah masalah Fiqih (Syari’ah),  Keempat Mazhab yang terkenal seperti Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali dan semua ahli Fiqih dan Syariat Islam sependapat bahwa aurat perempuan adalah semua badannya kecuali Muka dan Telapak tangan.

Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya: laki-laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mirip ekor sapi untuk memukuli orang lain dan wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang dan berlenggak-lenggok. Kepalanya bergoyang-goyang bak punuk onta. Mereka itu tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR Muslim).

Seorang muslimah akan selalu ingin menjadi tampil menarik di hadapan manusia akan tetapi penampilan yang paling menarik dari semua penampilan adalah penampilan yang sesuai syariat Allah sang pengasih dan penyayang hambanya dengan memerintahkan memakai jilbab sebagai penyempurna kewajiban sebagai seorang muslimah yang sudah baligh, hal ini adalah bentuk kasih sayang kepada hambanya khususnya wanita, yakinlah bahwa Allah mengatur semua ini hanya untuk kepada saudariku-saudariku.

Berikut ini adalah dalil-dalil tentang wajibnya memakai Hijab menurut Al-Qur’an dan Hadits dan penafsiran para Sahabat dan Fuqaha (Ahli Fiqih) Hukum Jilbab dan Hijab:

Dari Khalid bin Duraik: ‘’Aisyah RA, berkata: ‘’Suatu hari, asma binti abu bakar menemui Rasulullah SAW dengan menggunakan pakaian tipis, beliau berpaling darinya dan berkata: ‘’wahai asma’’ jika perempuan sudah mengalami haid, tidak boleh ada anggota tubuhnya yang terlihat kecuali ini dan ini, sambil menunjuk ke wajah dan kedua telapak tangan.’’ (HR. Abu Daud).

Aurat wanita yang tidak boleh terlihat di hadapan laki-laki lain (selain suami dan mahramnya) adalah seluruh anggota badannya kecuali wajah dan telapak tangan. Hal ini berdasarkan dalil hadits di atas dan ayat ayat berikut.

1. Al-Qur’an surah An-Nur ayat 31, “Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan khumurnya (Indonesia: hijab) ke dadanya….” Ayat ini menegaskan empat hal:

a. Perintah untuk menahan pandangan dari yang diharamkan oleh Allah.
b. Perintah untuk menjaga kemaluan dari perbuatan yang haram.
c. Larangan untuk menampakkan perhiasan kecuali yang biasa tampak.

Para ulama mengatakan bahwa ayat ini juga menunjukkan akan haramnya menampakkan anggota badan tempat perhiasan tersebut. Sebab, jika perhiasannya saja dilarang untuk ditampakkan apalagi tempat perhiasan itu berada. Menurut Ibnu Umar RA yang biasa nampak adalah wajah dan telapak tangan.
d. Perintah untuk menutupkan khumur ke dada. Khumur adalah bentuk jamak dari khimar yang berarti kain penutup kepala. Atau, dalam bahasa kita disebut hujab. Ini menunjukkan bahwa kepala dan dada adalah juga termasuk aurat yang harus ditutup. Berarti tidak cukup hanya dengan menutupkan hijab pada kepala saja dan ujungnya diikatkan ke belakang. Tetapi, ujung jilbab tersebut harus dibiarkan terjuntai menutupi dada.

2. Hadits riwayat Aisyah RA, bahwasanya Asma binti Abu Bakar masuk menjumpai Rasulullah dengan pakaian yang tipis, lantas Rasulullah berpaling darinya dan berkata, “Hai Asma, sesungguhnya jika seorang wanita sudah mencapai usia haid (akil balig) maka tidak ada yang layak terlihat kecuali ini,” sambil beliau menunjuk wajah dan telapak tangan. (HR Abu Daud dan Baihaqi).

Hadits ini menunjukkan dua hal:
1.  Kewajiban menutup seluruh tubuh wanita kecuali wajah dan telapak tangan.
2. Pakaian yang tipis tidak memenuhi syarat untuk menutup aurat.

Dari kedua dalil di atas, jelaslah batasan aurat bagi wanita, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan. Dari dalil tersebut pula kita memahami bahwa menutup aurat adalah wajib. Berarti jika dilaksanakan akan menghasilkan pahala dan jika tidak dilakukan maka akan menuai dosa. Kewajiban menutup aurat ini tidak hanya berlaku pada saat shalat saja atau ketika hadir di pengajian, namun juga pada semua tempat yang memungkinkan ada laki-laki lain bisa melihatnya.

Pembaca yang budiman, jika memperhatikan realita arus kehidupan dunia yang penuh dengan godaan, terkadang saudariku merasa malu menggunakan pakaian muslimah, dengan beberapa alasan:

1.      Malu, terkadang ada muslimah yang sudah paham tentang arti dan kewajiban memakai jilbab syar’i tetapi masih dihantui perasaan malu terhadap teman, keluarga dan lingkungan. Pesan untuk saudari-saudariku yang cantik harapan umat” jangan malu dalam menjalankan Syariat Islam sebab itulah jalan yang lurus tapi malulah jika tidak taat kepada syariat Allah”

2.      Takut dicap teroris, seiring perputaran kehidupan yang canggih anak manusia maju memasuki era globalisasi maka kebanyakan perbuat-perbuat teror yang dilakukan oleh oknum dan salah dalam mengartikan jihad sehingga pada akhirnya setiap ada teror terbukti atau tidak biasanya dituduhkan kepada muslin/muslimat, sehingga terkadang ada ibu rumah tangga yang melarang anaknya untuk memakai jilbab syar’i. “Pesan, tidak usah takut dicap teroris sebab Allah bersama kita’’ kalaupun polri atau Amerika sekalipun menuduh kita yang tidak-tidak lalu kemudian diadili maka engkau mati syahid sebab mempertahankan keimanan dan difitnah.

Setelah membahas beberapa dalil di atas telah jelas bahwa dalam berpakaian saat ini ada beberapa kriteria atau syarat. Syarat-syarat pakaian penutup aurat wanita pada dasarnya seluruh bahan, model, dan bentuk pakaian boleh dipakai, asalkan memenuhi syarat-syarat berikut.
1. Menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
2. Tidak tipis dan transparan. (Sesuai hadits di atas)
3. Longgar dan tidak memperlihatkan lekuk-lekuk dan bentuk tubuh (tidak ketat).
4. Bukan pakaian laki-laki atau menyerupai pakaian laki-laki.

Teruntuk saudari-saudariku yang cantik, yang peduli pada diri sendiri atas kehidupan akhirat pakailah pakaian yang sesuai syariat Allah, insya Allah engkau bahagia dunia dan akhirat sebab hati ini akan tenteram jika melaksanakan syariat Islam. Jika memakai pakaian yang tidak sesuai syariat saya yakin bahwa sebenarnya dalam hati kecil kita berkata sebenarnya aku suka berpakaian syariat tapi pikiran dan hawa nafsu ingin berpakaian yang tidak sesuai syariat Allah.

Pakaian muslimah sekarang kebanyakan membungkus bukan menutup, perbedaan membungkus dan menutup, contoh menutup itu berpakaian tapi lekuk-lekuk masih sangat terlihat, transparan, akibat pakaian kekecilan dan ketat dikategorikan membungkus. Sedangkan menutup, berpakaian dengan baik rapi tanpa tidak menampakkan model-model lekuk-lekuk tubuh alias tidak ketat.

Teringat salah satu artikel ww.arrahmah.com berikut bunyinya:
Renungan buat Muslimah yang belum ingin menutup auratnya dengan Hijab

Beralasan belum siap berjilbab karena : Yang penting hatinya dulu diperbaiki?

Kami jawab, ”Hati juga mesti baik. Lahiriyah pun demikian. Karena iman itu mencakup amalan hati, perkataan dan perbuatan. Hanya pemahaman keliru yang menganggap iman itu cukup dengan amalan hati ditambah perkataan lisan tanpa mesti ditambah amalan lahiriyah. Iman butuh realisasi dalam tindakan dan amalan”

Beralasan belum siap berjilbab karena mengenakannya begitu gerah dan panas?

Kami jawab, ”Lebih mending mana, panas di dunia karena melakukan ketaatan ataukah panas di neraka karena durhaka?” Coba direnungkan!

Beralasan lagi karena saat ini belum siap berjilbab?

Kami jawab, ”Jika tidak sekarang, lalu kapan lagi? Apa tahun depan? Apa dua tahun lagi? Apa jika sudah keriput dan rambut ubanan? Inilah was-was dari setan supaya kita menunda amalan baik. Mengapa mesti menunda berhijab? Dan kita tidak tahu besok kita masih di dunia ini ataukah sudah di alam barzakh, bahkan kita tidak tahu keadaan kita sejam atau semenit mendatang. So … jangan menunda-nunda beramal baik. Jangan menunda-nunda untuk berjilbab.”

Perkataan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berikut seharusnya menjadi renungan:
“Jika engkau berada di waktu sore, maka janganlah menunggu pagi. Jika engkau berada di waktu pagi, janganlah menunggu waktu sore. Manfaatkanlah masa sehatmu sebelum datang sakitmu dan manfaatkanlah hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Bukhari no. 6416). Hadits ini menunjukkan dorongan untuk menjadikan kematian seperti berada di hadapan kita sehingga bayangan tersebut menjadikan kita bersiap-siap dengan amalan shalih.

Subhanallah…
Masihkah kamu ragu wahai Ukhti fillah untuk menutup kemolekan tubuhmu dengan hijab? masihkah?  Ingatlah, sesungguhnya api neraka akan membakar tubuh yang kau sajikan untuk lelaki hidung belang, kau bisa beralasan ini dan itu, Demi Allah, sesungguhnya, kita tak akan mampu menebak kapan nyawa ini akan diambil oleh Malaikat Maut! Innalillahi waa inna ialaihi rojiun. Demikianlah artikel yang sempat saya kutip.
Jadi, terus terang saja mata ini sudah sering kali dibelokkan oleh syetan, sebab di manapun saya berada baik di luar Negeri ataupun dalam Negeri begitu banyak wanita muslimah yang tidak menyadari hal ini. Lelaki hidung belang seenaknya menyajikan pesona yang tak pantas.
Saudariku yang muslimah, yakinlah bahwa syariat mengatur kehidupan kita, itu semua teruntuk kebaikan dan kemashlahatan dunia dan akhirat, tidak akan ngaruh kekokohan Allah sebagai Tuhan, jika saudariku berhijab syar’i atau tidak, hasilnya akan kembali kepada diri pribadi kita masing-masing. Mohon maaf dengan sebesar-besarnya jika bahasa-bahasa yang digunakan terlalu over sebab ini semua agar mudah dipahami tak ada niat kecuali saling mengingatkan, wallahu a’lamu bishowab.

Selasa, 29 Mei 2012

Mainan Aman untuk Anak


BERMAIN menjadi kegiatan yang mengasyikkan bagi anak. Tak hanya untuk menghibur di waktu luang, bermain juga menjadi kegiatan untuk melatih kecerdasan dan motorik si kecil. Namun Anda juga mesti hati-hati dalam memilih mainan bagi anak. Jangan sampai mainan yang semestinya bermanfaat bagi si kecil malah membuatnya terluka atau jatuh sakit.

1. Keamanan
Perhatikan keterangan usia pada mainan anak dan pilih mainan yang sesuai dengan usia anak. Hindari mainan dengan bentuk yang tajam atau membuat anak tersedak. Perhatikan pula bahannya. Beberapa mainan mengandung zat pewarna atau aroma dengan bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan anak.

2. Mudah dibersihkan
Biasakan untuk membersihkan mainan sebelum digunakan. Si kecil, terutama yang masih bayi atau balita, kerap memasukkan mainan ke dalam mulut. Bayangkan jika mainan dipenuhi kotoran, wah, bisa berbahaya kalau kotorannya masuk ke mulut anak!

3. Ukuran
Hindari memberi mainan dengan ukuran yang sangat kecil. Jika anak sedang iseng mengulum mainannya akan beresiko tertelan dan tersedak.

4. Tahan lama
Pilih mainan yang awet dan tidak mudah pecah. Hindari mainan berbahan kaca atau plastik yang dapat pecah atau terbelah dan melukai tubuh si kecil.
dari Berbagai Sumber
(rere/gur)

JADWAL PUASA SUNNAH 2012

Ketika Islam melarang berpuasa pada hari-hari tertentu, maka Islam pun menganjurkan
kepada umatnya agar berpuasa pada hari-hari yang Rasulullah sendiri biasa melakukannya.
Berikut adalah jadual 'Puasa Sunnah' sesuai penanggalan Masehi tahun 2012.
Semoga manfaat.
[lm]
------------ --------- --------- --------- --------- --------- -
1. Puasa tiap hari Senin dan Kamis.

2. Puasa 3 (tiga) hari setiap bulan - 'Shaumul Biidh' -
Yakni pada tanggal 13,14 dan 15 - penanggalan Islam - (saat bulan purnama).

- 3, 4, 5 Juni 2012/ 13, 14, 15 Rajab 1433 H
- 3, 4, 5 Juli 2012/ 13, 14, 15 Sya'ban 1433 H

-------------------RAMADHAN 1433 H----------------------------------------

- 1, 2, 3 September 2012/ 13, 14, 15 Syawwal 1433 H
- 30 September, 1, 2 Oktober 2012/ 13, 14, 15 Dzulqa'dah 1433 H
- 30, 31 Oktober 2012/ 14, 15 Dzulhijjah 1433 H
( 29 Oktober 2012 bertepatan dengan hari tasyriq - 13 Dzulhijjah 1433 H
Hari Tasyriq (Hari masih di perbolehkannya menyembelih hewan Qurban) tidak diperkenankan berpuasa )
- 27, 28, 29 November 2012/ 13, 14, 15 Muharram 1434 H
- 27, 28, 29 Desember 2012/ 13, 14, 15 Shaffar 1434 H

 - Puasa Ramadhan 1433 H : 21 Juli 2012 - 18 Agustus 2012

3. Puasa 1/3 (sepertiga) bulan - Yakni di bulan Dzulhijjah.
Antara 17 Oktober 2012 - 14 November 2012 / Dzulhijjah 1433 H
Puasa tanggal 9 Dzulhijjah (Arafah) bagi selain orang yang melaksanakan haji.
Yakni : 25 Oktober 2012/ 9 Dzulhijjah 1433 H


TIDAK DI PERKENANKAN PUASA :
Hari Idul Adha - 10 Dzulhijjah 1433 H / 26 Oktober 2012
Hari tasyriq - 11, 12, 13 Dzulhijjah 1433 H/ 18, 19, 20 November 2012/ Dzulhijjah 1431 H

4. Puasa bulan Muharram - 'Asyura' selama 3 (tiga) hari - tanggal 9,10,11 Muharram.
Sangat dianjurkan tanggal 9 dan 10 ( Tasu'a dan 'Asyura )
Yakni : 23, 24, 25 November 2012/ 9, 10, 11 Muharram 1433 H


5. Puasa pada sebagian bulan Sya'ban.
Antara 21 Juni 2012 - 20 Juli 2012


6. Puasa 6 hari pada bulan Syawwal.
Antara 21 Agustus 2012 - 17 September 2012.
Tidak diperkenankan puasa pada 1 Syawwal (19 Agustus 2012).


7. Puasa Daud - berpuasa berselang-seling.
Berpuasa satu hari lalu berbuka satu hari
(lm)


Ringkasan - Referensi :
Fiqhus Sunnah Sayyid Sabiq
Tamamul Minnah, Muhammad Nashiruddin al-Albani
Al-Islam- Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Penanggalan Tahun 2012 - Penerbit Gema Insani.

Jumat, 25 Mei 2012

Cinta Sejati Laila Majnun


Alkisah, seorang kepala suku Bani Umar di Jazirah Arab memiIiki segala macam yang diinginkan orang, kecuali satu hal bahwa ia tak punya seorang anakpun. Tabib-tabib di desa itu menganjurkan berbagai macam ramuan dan obat, tetapi tidak berhasil. Ketika semua usaha tampak tak berhasil, istrinya menyarankan agar mereka berdua bersujud di hadapan Tuhan dan dengan tulus memohon kepada Allah swt  memberikan anugerah kepada mereka berdua. “Mengapa tidak?” jawab sang kepala suku. “Kita telah mencoba berbagai macam cara. Mari, kita coba sekali lagi, tak ada ruginya.”
Mereka pun bersujud kepada Tuhan, sambil berurai air mata dari relung hati mereka yang terluka. “Wahai Segala Kekasih, jangan biarkan pohon kami tak berbuah. Izinkan kami merasakan manisnya menimang anak dalam pelukan kami. Anugerahkan kepada kami tanggung jawab untuk membesarkan seorang manusia yang baik. Berikan kesempatan kepada kami untuk membuat-Mu bangga akan anak kami.”
Tak lama kemudian, doa mereka dikabulkan, dan Tuhan menganugerahi mereka seorang anak laki-laki yang diberi nama Qais. Sang ayah sangat berbahagia, sebab Qais dicintai oleh semua orang. Ia tampan, bermata besar, dan berambut hitam, yang menjadi pusat perhatian dan kekaguman. Sejak awal, Qais telahmemperlihatkan kecerdasan dan kemampuan fisik istimewa. Ia punya bakat luar biasa dalam mempelajari seni berperang dan memainkan musik, menggubah syair dan melukis.
Ketika sudah cukup umur untuk masuk sekolah, ayahnya memutuskan membangun sebuah sekolah yang indah dengan guru-guru terbaik di Arab yang mengajar di sana , dan hanya beberapa anak saja yang belajar di situ. Anak-anak lelaki dan perempuan dan keluarga terpandang di seluruh jazirah Arab belajar di sekolah baru ini.
Di antara mereka ada seorang anak perempuan dari kepala suku tetangga. Seorang gadis bermata indah, yang memiliki kecantikan luar biasa. Rambut dan matanya sehitam malam; karena alasan inilah mereka menyebutnya Laila-”Sang Malam”. Meski ia baru berusia dua belas tahun, sudah banyak pria melamarnya untuk dinikahi, sebab-sebagaimana lazimnya kebiasaan di zaman itu, gadis-gadis sering dilamar pada usia yang masih sangat muda, yakni sembilan tahun.
Laila dan Qais adalah teman sekelas. Sejak hari pertama masuk sekolah, mereka sudah saling tertarik satu sama lain. Seiring dengan berlalunya waktu, percikan ketertarikan ini makin lama menjadi api cinta yang membara. Bagi mereka berdua, sekolah bukan lagi tempat belajar. Kini, sekolah menjadi tempat mereka saling bertemu. Ketika guru sedang mengajar, mereka saling berpandangan. Ketika tiba
waktunya menulis pelajaran, mereka justru saling menulis namanya di atas kertas. Bagi mereka berdua, tak ada teman atau kesenangan lainnya. Dunia kini hanyalah milik Qais dan Laila.
Mereka buta dan tuli pada yang lainnya. Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai mengetahui cinta mereka, dan gunjingan-gunjingan pun mulai terdengar. Di zaman itu, tidaklah pantas seorang gadis dikenal sebagai sasaran cinta seseorang dan sudah pasti mereka tidak akan menanggapinya. Ketika orang-tua Laila mendengar bisik-bisik tentang anak gadis mereka, mereka pun melarangnya pergi ke sekolah. Mereka tak sanggup lagi menahan beban malu pada masyarakat sekitar.
Ketika Laila tidak ada di ruang kelas, Qais menjadi sangat gelisah sehingga ia meninggalkan sekolah dan menyelusuri jalan-jalan untuk mencari kekasihnya dengan memanggil-manggil namanya. Ia menggubah syair untuknya dan membacakannya di jalan-jalan. Ia hanya berbicara tentang Laila dan tidak juga menjawab pertanyaan orang-orang kecuali bila mereka bertanya tentang Laila. Orang-orang pun tertawa dan berkata, ” Lihatlah Qais , ia sekarang telah menjadi seorang majnun, gila!”
Akhirnya, Qais dikenal dengan nama ini, yakni “Majnun”. Melihat orang-orang dan mendengarkan mereka berbicara membuat Majnun tidak tahan. Ia hanya ingin melihat dan berjumpa dengan Laila kekasihnya. Ia tahu bahwa Laila telah dipingit oleh orang tuanya di rumah, yang dengan bijaksana menyadari bahwa jika Laila dibiarkan bebas bepergian, ia pasti akan menjumpai Majnun. Majnun menemukan sebuah tempat di puncak bukit dekat desa Laila dan membangun sebuah gubuk untuk dirinya yang menghadap rumah Laila. Sepanjang hari Majnun
duduk-duduk di depan gubuknya, disamping sungai kecil berkelok yang mengalir ke bawah menuju desa itu. Ia berbicara kepada air, menghanyutkan dedaunan bunga liar, dan Majnun merasa yakin bahwa sungai itu akan menyampaikan pesan cintanya kepada Laila. Ia menyapa burung-burung dan meminta mereka untuk terbang kepada Laila serta memberitahunya bahwa ia dekat.
Ia menghirup angin dari barat yang melewati desa Laila. Jika kebetulan ada seekor anjing tersesat yang berasal dari desa Laila, ia pun memberinya makan dan merawatnya, mencintainya seolah-olah anjing suci, menghormatinya dan menjaganya sampai tiba saatnya anjing itu pergi jika memang mau demikian. Segala sesuatu yang berasal dari tempat kekasihnya dikasihi dan disayangi sama seperti kekasihnya sendiri.
Bulan demi bulan berlalu dan Majnun tidak menemukan jejak Laila. Kerinduannya kepada Laila demikian besar sehingga ia merasa tidak bisa hidup sehari pun tanpa melihatnya kembali. Terkadang sahabat-sahabatnya di sekolah dulu datang mengunjunginya, tetapi ia berbicara kepada mereka hanya tentang Laila, tentang betapa ia sangat kehilangan dirinya.
Suatu hari, tiga anak laki-laki, sahabatnya yang datang mengunjunginya demikian terharu oleh penderitaan dan kepedihan Majnun sehingga mereka bertekad embantunya untuk berjumpa kembali dengan Laila. Rencana mereka sangat cerdik. Esoknya, mereka dan Majnun mendekati rumah Laila dengan menyamar sebagai wanita. Dengan mudah mereka melewati wanita-wanita pembantu dirumah Laila dan berhasil masuk ke pintu kamarnya.
Majnun masuk ke kamar, sementara yang lain berada di luar berjaga-jaga. Sejak ia berhenti masuk sekolah, Laila tidak melakukan apapun kecuali memikirkan Qais. Yang cukup mengherankan, setiap kali ia mendengar burung-burung berkicau dari jendela atau angin berhembus semilir, ia memejamkan.matanya sembari membayangkan bahwa ia mendengar suara Qais didalamnya. Ia akan mengambil dedaunan dan bunga yang dibawa oleh angin atau sungai dan tahu bahwa semuanya itu berasal dari Qais. Hanya saja, ia tak pernah berbicara kepada siapa pun, bahkan juga kepada sahabat-sahabat terbaiknya, tentang cintanya.
Pada hari ketika Majnun masuk ke kamar Laila, ia merasakan kehadiran dan kedatangannya. Ia mengenakan pakaian sutra yang sangat bagus dan indah. Rambutnya dibiarkan lepas tergerai dan disisir dengan rapi di sekitar bahunya. Matanya diberi celak hitam, sebagaimana kebiasaan wanita Arab, dengan bedak hitam yang disebut surmeh. Bibirnya diberi lipstick merah, dan pipinya yang kemerah-merahan tampak menyala serta menampakkan kegembiraannya. Ia duduk di depan pintu dan menunggu.
Ketika Majnun masuk, Laila tetap duduk. Sekalipun sudah diberitahu bahwa Majnun akan datang, ia tidak percaya bahwa pertemuan itu benar-benar terjadi.
Majnun berdiri di pintu selama beberapa menit, memandangi, sepuas-puasnya wajah
Laila. Akhirnya, mereka bersama lagi! Tak terdengar sepatah kata pun, kecuali
detak jantung kedua orang yang dimabuk cinta ini. Mereka saling berpandangan dan
lupa waktu.
Salah seorang wanita pembantu di rumah itu melihat sahabat-sahabat Majnun di
luar kamar tuan putrinya. Ia mulai curiga dan memberi isyarat kepada salah
seorang pengawal. Namun, ketika ibu Laila datang menyelidiki, Majnun dan
kawan-kawannya sudah jauh pergi. Sesudah orang-tuanya bertanya kepada Laila,
maka tidak sulit bagi mereka mengetahui apa yang telah terjadi. Kebisuan dan
kebahagiaan yang terpancar dimatanya menceritakan segala sesuatunya.
Sesudah terjadi peristiwa itu, ayah Laila menempatkan para pengawal di setiap
pintu di rumahnya. Tidak ada jalan lain bagi Majnun untuk menghampiri rumah
Laila, bahkan
dari kejauhan sekalipun. Akan tetapi jika ayahnya berpikiran bahwa, dengan
bertindak hati-hati ini ia bisa mengubah perasaan Laila dan Majnun, satu sama
lain, sungguh ia salah besar.
Ketika ayah Majnun tahu tentang peristiwa di rumah Laila, ia memutuskan untuk
mengakhiri drama itu dengan melamar Laila untuk anaknya. Ia menyiapkan sebuah
kafilah penuh dengan hadiah dan mengirimkannya ke desa Laila. Sang tamu pun
disambut dengan sangat baik, dan kedua kepala suku itu berbincang-bincang
tentang kebahagiaan anak-anak mereka. Ayah Majnun lebih dulu berkata, “Engkau
tahu benar, kawan, bahwa ada dua hal yang sangat penting bagi kebahagiaan, yaitu
“Cinta dan Kekayaan”.
Anak lelakiku mencintai anak perempuanmu, dan aku bisa memastikan bahwa aku
sanggup memberi mereka cukup banyak uang untuk mengarungi kehidupan yang bahagia
dan menyenangkan. Mendengar hal itu, ayah Laila pun menjawab, “Bukannya aku
menolak Qais. Aku percaya kepadamu, sebab engkau pastilah seorang mulia dan
terhormat,” jawab ayah Laila. “Akan tetapi, engkau tidak bisa menyalahkanku
kalau aku berhati-hati dengan anakmu. Semua orang tahu perilaku abnormalnya.
Ia berpakaian seperti seorang pengemis. Ia pasti sudah lama tidak mandi dan
iapun hidup bersama hewan-hewan dan menjauhi orang banyak. “Tolong katakan
kawan, jika engkau punya anak perempuan dan engkau berada dalam posisiku,
akankah engkau memberikan anak perempuanmu kepada anakku?”
Ayah Qais tak dapat membantah. Apa yang bisa dikatakannya? Padahal, dulu
anaknya adalah teladan utama bagi kawan-kawan sebayanya? Dahulu Qais adalah anak
yang paling cerdas dan berbakat di seantero Arab? Tentu saja, tidak ada yang
dapat dikatakannya. Bahkan, sang ayahnya sendiri susah untuk mempercayainya.
Sudah lama orang tidak mendengar ucapan bermakna dari Majnun. “Aku tidak akan
diam berpangku tangan dan melihat anakku menghancurkan dirinya sendiri,”
pikirnya. “Aku harus melakukan sesuatu.”
Ketika ayah Majnun kembali pulang, ia menjemput anaknya, Ia mengadakan pesta
makan malam untuk menghormati anaknya. Dalam jamuan pesta makan malam itu,
gadis-gadis tercantik di seluruh negeri pun diundang. Mereka pasti bisa
mengalihkan perhatian Majnun dari Laila, pikir ayahnya. Di pesta itu, Majnun
diam dan tidak mempedulikan tamu-tamu lainnya. Ia duduk di sebuah sudut ruangan
sambil melihat gadis-gadis itu hanya untuk mencari pada diri mereka berbagai
kesamaan dengan yang dimiliki Laila.
Seorang gadis mengenakan pakaian yang sama dengan milik Laila; yang lainnya
punya rambut panjang seperti Laila, dan yang lainnya lagi punya senyum mirip
Laila. Namun, tak ada seorang gadis pun yang benar-benar mirip dengannya,
Malahan, tak ada seorang pun yang memiliki separuh kecantikan Laila. Pesta itu
hanya menambah kepedihan perasaan Majnun saja kepada kekasihnya. Ia pun berang
dan marah serta menyalahkan setiap orang di pesta itu lantaran berusaha
mengelabuinya.
Dengan berurai air mata, Majnun menuduh orang-tuanya dan sahabat-sahabatnya
sebagai berlaku kasar dan kejam kepadanya. Ia menangis sedemikian hebat hingga
akhirnya jatuh ke lantai dalam keadaan pingsan. Sesudah terjadi petaka ini,
ayahnya memutuskan agar Qais dikirim untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah
dengan harapan bahwa Allah akan merahmatinya dan membebaskannya dari cinta yang
menghancurkan ini.
Di Makkah, untuk menyenangkan ayahnya, Majnun bersujud di depan altar Kabah,
tetapi apa yang ia mohonkan? “Wahai Yang Maha Pengasih, Raja Diraja Para
Pecinta, Engkau yang menganugerahkan cinta, aku hanya mohon kepada-Mu satu hal
saja,”Tinggikanlah cintaku sedemikian rupa sehingga, sekalipun aku binasa,
cintaku dan kekasihku tetap hidup.” Ayahnya kemudian tahu bahwa tak ada lagi
yang bisa ia lakukan untuk anaknya.
Usai menunaikan ibadah haji, Majnun yang tidak mau lagi bergaul dengan orang
banyak di desanya, pergi ke pegunungan tanpa memberitahu di mana ia berada. Ia
tidak kembali ke gubuknya. Alih-alih tinggal dirumah, ia memilih tinggal
direruntuhan sebuah bangunan tua yang terasing dari masyarakat dan tinggal
didalamnya. Sesudah itu, tak ada seorang pun yang mendengar kabar tentang
Majnun. Orang-tuanya mengirim segenap sahabat dan keluarganya untuk mencarinya.
Namun, tak seorang pun berhasil menemukannya. Banyak orang berkesimpulan bahwa
Majnun dibunuh oleh binatang-binatang gurun sahara. Ia bagai hilang ditelan
bumi.
Suatu hari, seorang musafir melewati reruntuhan bangunan itu dan melihat ada
sesosok aneh yang duduk di salah sebuah tembok yang hancur. Seorang liar dengan
rambut panjang hingga ke bahu, jenggotnya panjang dan acak-acakan, bajunya
compang-camping dan kumal. Ketika sang musafir mengucapkan salam dan tidak
beroleh jawaban, ia mendekatinya. Ia melihat ada seekor serigala tidur di
kakinya. “Hus” katanya, ‘Jangan bangunkan sahabatku.” Kemudian, ia mengedarkan
pandangan ke arah kejauhan.
Sang musafir pun duduk di situ dengan tenang. Ia menunggu dan ingin tahu apa
yang akan terjadi. Akhimya, orang liar itu berbicara. Segera saja ia pun tahu
bahwa ini adalah Majnun yang terkenal itu, yang berbagai macam perilaku anehnya
dibicarakan orang di seluruh jazirah Arab. Tampaknya, Majnun tidak kesulitan
menyesuaikan diri dengan kehidupan dengan binatang-binatang buas dan liar. Dalam
kenyataannya, ia sudah menyesuaikan diri dengan sangat baik sehingga
lumrah-lumrah saja melihat dirinya sebagai bagian dari kehidupan liar dan buas
itu.
Berbagai macam binatang tertarik kepadanya, karena secara naluri mengetahui
bahwa Majnun tidak akan mencelakakan mereka. Bahkan, binatang-binatang buas
seperti serigala sekalipun percaya pada kebaikan dan kasih sayang Majnun. Sang
musafir itu mendengarkan Majnun melantunkan berbagai kidung pujiannya pada
Laila. Mereka berbagi sepotong roti yang diberikan olehnya. Kemudian, sang
musafir itu pergi dan melanjutkan petjalanannya.
Ketika tiba di desa Majnun, ia menuturkan kisahnya pada orang-orang. Akhimya,
sang kepala suku, ayah Majnun, mendengar berita itu. Ia mengundang sang musafir
ke rumahnya dan meminta keteransran rinci darinya. Merasa sangat gembira dan
bahagia bahwa Majnun masih hidup, ayahnya pergi ke gurun sahara untuk
menjemputnya.
Ketika melihat reruntuhan bangunan yang dilukiskan oleh sang musafir itu, ayah
Majnun dicekam oleh emosi dan kesedihan yang luar biasa. Betapa tidak! Anaknya
terjerembab dalam keadaan mengenaskan seperti ini. “Ya Tuhanku, aku mohon agar
Engkau menyelamatkan anakku dan mengembalikannya ke keluarga kami,” jerit sang
ayah menyayat hati. Majnun mendengar doa ayahnya dan segera keluar dari tempat
persembunyiannya. Dengan bersimpuh dibawah kaki ayahnya, ia pun menangis, “Wahai
ayah, ampunilah aku atas segala kepedihan yang kutimbulkan pada dirimu. Tolong
lupakan bahwa engkau pernah mempunyai seorang anak, sebab ini akan meringankan
beban kesedihan ayah. Ini sudah nasibku mencinta, dan hidup hanya untuk
mencinta.” Ayah dan anak pun saling berpelukan dan menangis. Inilah pertemuan
terakhir mereka.
Keluarga Laila menyalahkan ayah Laila lantaran salah dan gagal menangani
situasi putrinya. Mereka yakin bahwa peristiwa itu telah mempermalukan seluruh
keluarga. Karenanya, orangtua Laila memingitnya dalam kamamya. Beberapa sahabat
Laila diizinkan untuk mengunjunginya, tetapi ia tidak ingin ditemani. Ia
berpaling kedalam hatinya, memelihara api cinta yang membakar dalam kalbunya.
Untuk mengungkapkan segenap perasaannya yang terdalam, ia menulis dan menggubah
syair kepada kekasihnya pada potongan-potongan kertas kecil. Kemudian, ketika ia
diperbolehkan menyendiri di taman, ia pun menerbangkan potongan-potongan kertas
kecil ini dalam hembusan angin. Orang-orang yang menemukan syair-syair dalam
potongan-potongan kertas kecil itu membawanya kepada Majnun. Dengan cara
demikian, dua kekasih itu masih bisa menjalin hubungan.
Karena Majnun sangat terkenal di seluruh negeri, banyak orang datang
mengunjunginya. Namun, mereka hanya berkunjung sebentar saja, karena mereka tahu
bahwa Majnun tidak kuat lama dikunjungi banyak orang. Mereka mendengarkannya
melantunkan syair-syair indah dan memainkan serulingnya dengan sangat memukau.
Sebagian orang merasa iba kepadanya; sebagian lagi hanya sekadar ingin tahu
tentang kisahnya. Akan tetapi, setiap orang mampu merasakan kedalaman cinta dan
kasih sayangnya kepada semua makhluk. Salah seorang dari pengunjung itu adalah
seorang ksatria gagah berani bernama ‘Amar, yang berjumpa dengan Majnun dalam
perjalanannya menuju Mekah. Meskipun ia sudah mendengar kisah cinta yang sangat
terkenal itu di kotanya, ia ingin sekali mendengarnya dari mulut Majnun sendiri.
Drama kisah tragis itu membuatnya sedemikian pilu dan sedih sehingga ia
bersumpah dan bertekad melakukan apa saja yang mungkin untuk mempersatukan dua
kekasih itu, meskipun ini berarti menghancurkan orang-orang yang menghalanginya!
Kaetika Amr kembali ke kota kelahirannya, Ia pun menghimpun pasukannya. Pasukan
ini berangkat menuju desa Laila dan menggempur suku di sana tanpa ampun. Banyak
orang yang terbunuh atau terluka.
Ketika pasukan ‘Amr hampir memenangkan pertempuran, ayah Laila mengirimkan
pesan kepada ‘Amr, “Jika engkau atau salah seorang dari prajuritmu menginginkan
putriku, aku akan menyerahkannya tanpa melawan. Bahkan, jika engkau ingin
membunuhnya, aku tidak keberatan. Namun, ada satu hal yang tidak akan pernah
bisa kuterima, jangan minta aku untuk memberikan putriku pada orang gila itu”.
Majnun mendengar pertempuran itu hingga ia bergegas kesana. Di medan
pertempuran, Majnun pergi ke sana kemari dengan bebas di antara para prajurit
dan menghampiri orang-orang yang terluka dari suku Laila. Ia merawat mereka
dengan penuh perhatian dan melakukan apa saja untuk meringankan luka mereka.
Amr pun merasa heran kepada Majnun, ketika ia meminta penjelasan ihwal mengapa
ia membantu pasukan musuh, Majnun menjawab, “Orang-orang ini berasal dari desa
kekasihku. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi musuh mereka?” Karena sedemikian
bersimpati kepada Majnun, ‘Amr sama sekali tidak bisa memahami hal ini. Apa yang
dikatakan ayah Laila tentang orang gila ini akhirnya membuatnya sadar. Ia pun
memerintahkan pasukannya untuk mundur dan segera meninggalkan desa itu tanpa
mengucapkan sepatah kata pun kepada Majnun.
Laila semakin merana dalam penjara kamarnya sendiri. Satu-satunya yang bisa ia
nikmati adalah berjalan-jalan di taman bunganya. Suatu hari, dalam perjalanannya
menuju taman, Ibn Salam, seorang bangsawan kaya dan berkuasa, melihat Laila dan
serta-merta jatuh cinta kepadanya. Tanpa menunda-nunda lagi, ia segera mencari
ayah Laila. Merasa lelah dan sedih hati karena pertempuran yang baru saja
menimbulkan banyak orang terluka di pihaknya, ayah Laila pun menyetujui
perkawinan itu.
Tentu saja, Laila menolak keras. Ia mengatakan kepada ayahnya, “Aku lebih
senang mati ketimbang kawin dengan orang itu.” Akan tetapi, tangisan dan
permohonannya tidak digubris. Lantas ia mendatangi ibunya, tetapi sama saja
keadaannya. Perkawinan pun berlangsung dalam waktu singkat. Orangtua Laila
merasa lega bahwa seluruh cobaan berat akhirnya berakhir juga.
Akan tetapi, Laila menegaskan kepada suaminya bahwa ia tidak pernah bisa
mencintainya. “Aku tidak akan pernah menjadi seorang istri,” katanya. “Karena
itu, jangan membuang-buang waktumu. Carilah seorang istri yang lain. Aku yakin,
masih ada banyak wanita yang bisa membuatmu bahagia.” Sekalipun mendengar
kata-kata dingin ini, Ibn Salam percaya bahwa, sesudah hidup bersamanya beberapa
waktu larnanya, pada akhirnya Laila pasti akan menerimanya. Ia tidak mau memaksa
Laila, melainkan menunggunya untuk datang kepadanya.
Ketika kabar tentang perkawinan Laila terdengar oleh Majnun, ia menangis dan
meratap selama berhari-hari. Ia melantunkan lagu-Iagu yang demikian menyayat
hati dan mengharu biru kalbu sehingga semua orang yang mendengarnya pun ikut
menangis. Derita dan kepedihannya begitu berat sehingga binatang-binatang yang
berkumpul di sekelilinginya pun turut bersedih dan menangis. Namun, kesedihannya
ini tak berlangsung lama, sebab tiba-tiba Majnun merasakan kedamaian dan
ketenangan batin yang aneh. Seolah-olah tak terjadi apa-apa, ia pun terus
tinggal di reruntuhan itu. Perasaannya kepada Laila tidak berubah dan malah
menjadi semakin lebih dalam lagi.
Dengan penuh ketulusan, Majnun menyampaikan ucapan selamat kepada Laila atas
perkawinannya: “Semoga kalian berdua selalu berbahagia di dunia ini. Aku hanya
meminta satu hal sebagai tanda cintamu, janganlah engkau lupakan namaku,
sekalipun engkau telah memilih orang lain sebagai pendampingmu. Janganlah pernah
lupa bahwa ada seseorang yang, meskipun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya
akan memanggil-manggil namamu, Laila”.
Sebagai jawabannya, Laila mengirimkan sebuah anting-anting sebagai tanda
pengabdian tradisional. Dalam surat yang disertakannya, ia mengatakan, “Dalam
hidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaat pun. Kupendam cintaku demikian
lama, tanpa mampu menceritakannya kepada siapapun. Engkau memaklumkan cintamu
ke seluruh dunia, sementara aku membakarnya di dalam hatiku, dan engkau
membakar segala sesuatu yang ada di sekelilingmu” . “Kini, aku harus
menghabiskan hidupku dengan seseorang, padahal segenap jiwaku menjadi milik
orang lain. Katakan kepadaku, kasih, mana di antara kita yang lebih dimabuk
cinta, engkau ataukah aku?.
Tahun demi tahun berlalu, dan orang-tua Majnun pun meninggal dunia. Ia tetap
tinggal di reruntuhan bangunan itu dan merasa lebih kesepian ketimbang
sebelumnya. Di siang hari, ia mengarungi gurun sahara bersama sahabat-sahabat
binatangnya. Di malam hari, ia memainkan serulingnya dan melantunkan
syair-syairnya kepada berbagai binatang buas yang kini menjadi satu-satunya
pendengarnya. Ia menulis syair-syair untuk Laila dengan ranting di atas tanah.
Selang beberapa lama, karena terbiasa dengan cara hidup aneh ini, ia mencapai
kedamaian dan ketenangan sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu pun yang
sanggup mengusik dan mengganggunya.
Sebaliknya, Laila tetap setia pada cintanya. Ibn Salam tidak pernah berhasil
mendekatinya. Kendatipun ia hidup bersama Laila, ia tetap jauh darinya. Berlian
dan hadiah-hadiah mahal tak mampu membuat Laila berbakti kepadanya. Ibn Salam
sudah tidak sanggup lagi merebut kepercayaan dari istrinya. Hidupnya serasa
pahit dan sia-sia. Ia tidak menemukan ketenangan dan kedamaian di rumahnya.
Laila dan Ibn Salam adalah dua orang asing dan mereka tak pernah merasakan
hubungan suami istri. Malahan, ia tidak bisa berbagi kabar tentang dunia luar
dengan Laila.
Tak sepatah kata pun pernah terdengar dari bibir Laila, kecuali bila ia
ditanya. Pertanyaan ini pun dijawabnya dengan sekadarnya saja dan sangat
singkat. Ketika akhirnya Ibn Salam jatuh sakit, ia tidak kuasa bertahan, sebab
hidupnya tidak menjanjikan harapan lagi. Akibatnya, pada suatu pagi di musim
panas, ia pun meninggal dunia. Kematian suaminya tampaknya makin mengaduk-ngaduk
perasaan Laila. Orang-orang mengira bahwa ia berkabung atas kematian Ibn Salam,
padahal sesungguhnya ia menangisi kekasihnya, Majnun yang hilang dan sudah lama
dirindukannya.
Selama bertahun-tahun, ia menampakkan wajah tenang, acuh tak acuh, dan hanya
sekali saja ia menangis. Kini, ia menangis keras dan lama atas perpisahannya
dengan kekasih satu-satunya. Ketika masa berkabung usai, Laila kembali ke rumah
ayahnya. Meskipun masih berusia muda, Laila tampak tua, dewasa, dan bijaksana,
yang jarang dijumpai pada diri wanita seusianya. Semen tara api cintanya makin
membara, kesehatan Laila justru memudar karena ia tidak lagi memperhatikan
dirinya sendiri. Ia tidak mau makan dan juga tidak tidur dengan baik selama
bermalam-malam.
Bagaimana ia bisa memperhatikan kesehatan dirinya kalau yang dipikirkannya
hanyalah Majnun semata? Laila sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan sanggup
bertahan lama. Akhirnya, penyakit batuk parah yang mengganggunya selama beberapa
bulan pun menggerogoti kesehatannya. Ketika Laila meregang nyawa dan sekarat, ia
masih memikirkan Majnun. Ah, kalau saja ia bisa berjumpa dengannya sekali lagi
untuk terakhir kalinya! Ia hanya membuka matanya untuk memandangi pintu
kalau-kalau kekasihnya datang. Namun, ia sadar bahwa waktunya sudah habis dan ia
akan pergi tanpa berhasil mengucapkan salam perpisahan kepada Majnun. Pada suatu
malam di musim dingin, dengan matanya tetap menatap pintu, ia pun meninggal
dunia dengan tenang sambil bergumam, Majnun…Majnun. .Majnun.
Kabar tentang kematian Laila menyebar ke segala penjuru negeri dan, tak lama
kemudian, berita kematian Lailapun terdengar oleh Majnun. Mendengar kabar itu,
ia pun jatuh pingsan di tengah-tengah gurun sahara dan tetap tak sadarkan diri
selama beberapa hari. Ketika kembali sadar dan siuman, ia segera pergi menuju
desa Laila. Nyaris tidak sanggup berjalan lagi, ia menyeret tubuhnya di atas
tanah. Majnun bergerak terus tanpa henti hingga tiba di kuburan Laila di luar
kota . Ia berkabung dikuburannya selama beberapa hari.
Ketika tidak ditemukan cara lain untuk meringankan beban penderitaannya,
per1ahan-lahan ia meletakkan kepalanya di kuburan Laila kekasihnya dan meninggal
dunia dengan tenang. Jasad Majnun tetap berada di atas kuburan Laila selama
setahun. Belum sampai setahun peringatan kematiannya ketika segenap sahabat dan
kerabat menziarahi kuburannya, mereka menemukan sesosok jasad terbujur di atas
kuburan Laila. Beberapa teman sekolahnya mengenali dan mengetahui bahwa itu
adalah jasad Majnun yang masih segar seolah baru mati kemarin. Ia pun dikubur di
samping Laila. Tubuh dua kekasih itu, yang kini bersatu dalam keabadian, kini
bersatu kembali.
Konon, tak lama sesudah itu, ada seorang Sufi bermimpi melihat Majnun hadir
di hadapan Tuhan. Allah swt membelai Majnun dengan penuh kasih sayang dan
mendudukkannya disisi-Nya.Lalu, Tuhan pun berkata kepada Majnun, “Tidakkah
engkau malu memanggil-manggil- Ku dengan nama Laila, sesudah engkau meminum
anggur Cinta-Ku?”
Sang Sufi pun bangun dalam keadaan gelisah. Jika Majnun diperlakukan dengan
sangat baik dan penuh kasih oleh Allah Subhana wa ta’alaa, ia pun
bertanya-tanya, lantas apa yang terjadi pada Laila yang malang ? Begitu pikiran
ini terlintas dalam benaknya, Allah swt pun mengilhamkan jawaban kepadanya,
“Kedudukan Laila jauh lebih tinggi, sebab ia menyembunyikan segenap rahasia
Cinta dalam dirinya sendiri.”
Wa min Allah at Tawfiq
Diambil dari Negeri Sufi ( Tales from The Land of Sufis )
Tentang Penulis Laila Majnun, Syaikh Sufi Mawlana Hakim Nizhami qs :
Syaikh Hakim Nizhami qs merupakan penulis sufi terkemuka diabad pertengahan
karena dua roman cinta yang menyayat hati, yaitu Laila & Majnun serta Khusrau &
Syirin. Kisah sedih Laila & Majnun , dimana Majnun yang berarti “Tergila-gila
akan Cinta”, karena cintanya yang tak sampai pada Laila, akhirnya membuatnya
gila. Kisah cinta ini dibaca selama berabad-abad, ratusan tahun jauh sebelum
Romeo & Julietnya Wiliam Shakespeare sehingga Kisah Laila & Majnun terkenal
sebagai kisah cintanya Persia .
Syaikh Nizhami qs adalah seorang Syaikh Sufi, dan yang dimaksud “kekasih”
dalam berbagai kisahnya sesungguhnya adalah perwujudan Allah swt. Syaikh
Nizhami hidup dari tahun 1155 M – 1223 M, beliau lahir dikota Ganje di
Azerbaijan. Ia telah menempuh jalan sufi semenjak masa mudanya, dan ia diajar
oleh Nabi Khidir as, Sang Pembimbing Misterius dan ia dilindungi 99 Nama Allah
Yang Maha Indah ( Asmaul Husna).
Syaikh Nizhami qs sangat menguasai berbagai macam ilmu, seperti matematika,
filsafat, Hukum Islam, dan kedokteran. Banyak karyanya merupakan pelajaran
tersembunyi bagi pemeluk tariqah sufi dan penempuh jalan spiritual. Karya Syaikh
Nizhami qs terkenal karena bahasanya yang halus. Karya Laila dan Majnun
sebenarnya berbentuk sajak berirama sebanyak 4500 syair sajak, yang dikenal
dengan sebutan Matsnawi. Sebagaimana lazimnya terjadi pada para Syaikh Sufi,
yang tertinggal dari Syaikh Nizhami qs adalah ajaran-ajaran sufi yang sangat
tinggi.

Ummu Sulaim, si Cerdas yang Dijamin Surga


Ia seorang wanita keturunan bangsawan dari kabilah Anshar suku Khazraj memiliki sifat keibuan dan berwajah manis menawan. Selain itu ia juga berotak cerdas penuh kehati-hatian dalam bersikap, dewasa dan berakhlak mulia, sehingga dengan sifat-sifatnya yang istimewa itulah pamannya yang bernama Malik bin Nadhar melirik dan mempersuntingnya. Rumaisha Ummu Sulaim binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Malik adalah satu dari wanita saliha yang memiliki kedudukan istimewa di mata Rasulullah.

Pada saat Rasululllah menyerukan dakwah menuju tauhid, tanpa keraguan lagi Ummu Sulaim langsung memeluk agama Islam, dan tidak peduli akan gangguan dan rintangan yang kelak akan dihadapinya dari masyarakat jahili paganis.

Namun suaminya, Malik bin Nadhir sangat marah saat mengetahui istrinya telah masuk Islam. Dengan dada gemuruh karena emosi, ia berkata pada Ummu Sulaim: "Engkau kini telah terperangkap dalam kemurtadan!"
"Saya tidak murtad. Justru saya kini telah beriman," jawab Ummu Sulaim dengan mantap. Dan kesungguhan Ummu Sulaim memeluk agama Allah tidak hanya sampai di situ. Ia juga tanpa bosan berusaha melatih anaknya, Anas, yang masih kecil untuk mengucapkan dua kalimat syahadat.

Melihat kesungguhan istrinya serta pendiriannya yang tak mungkin tergoyahkan membuat Malik bin Nadhir bosan dan tak mampu mengendalikan amarahnya. Hingga ia kemudian bertekad untuk meninggalkan rumah dan tidak akan kembali sampai istrinya mau kembali kepada agama nenek moyang mereka. Ia pun pergi dengan wajah suram. Sayangnya, di tengah jalan ia bertemu dengan musuhnya, kemudian ia dibunuh..
Saat mendengar kabar kematian suaminya dengan ketabahan yang mengagumkan ia berkata, "Saya akan tetap menyusui Anas sampai ia tak mau menyusu lagi, dan  sekali-kali saya tak ingin menikah lagi sampai Anas menyuruhku."

Setelah Anas agak besar, Ummu Sulaim dengan malu-malu mendatangi Rasulullah dan meminta agar beliau bersedia menerima Anas sebagai pembantunya. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam pun menerima Anas dengan rasa gembira. Dan dari semua keputusannya itu, Ummu Sualim kemudian banyak dibicarakan orang dengan rasa kagum.

Dan seorang bangsawan bernama Abu Thalhah tak luput memperhatikan hal itu. Dengan rasa cinta dan kagum yang tak dapat disembunyikan tanpa banyak pertimbangan ia langsung melangkahkan kakinya ke rumah Ummu Sulaim untuk melamarnya dan menawarkan mahar yang mahal. Namun di luar dugaan, jawaban Ummu Sulaim membuat lidahnya menjadi kelu dan rasa kecewanya begitu menyesakkan dada, meski Ummu Sulaim berkata dengan sopan dan rasa hormat,

"Tidak selayaknya saya menikah dengan seorang musyrik, ketahuilah wahai Abu Thalhah bahwa sesembahanmu selama ini hanyalah sebuah patung yang dipahat oleh keluarga fulan. Dan apabila engkau mau menyulutnya api niscaya akan membakar dan menghanguskan patung-patung itu."

Perkataan Ummu Sulaim amat telak menghantam dadanya. Abu Thalhah  tak percaya dengan apa yang ia lihat dan ia dengar. Namun itu semua merupakan realita yang harus ia terima. Abu Thalhah bukanlah orang yang cepat putus asa. Dikarenakan cintanya yang tulus dan mendalam terhadap Ummu Sulaim, di lain kesempatan ia datang lagi menjumpai ibunda Anas dan mengiming-iming mahar yang lebih wah serta kehidupan kelas atas.

Sekali lagi, Ummu Sulaim muslimah yag cerdik dan pintar ini tetap teguh dengan keimanannya. Sedikit pun ia tidak tergoda oleh kenikmatan dunia yag dijanjikan oleh Abu Thalhah. Baginya kenikmatan Islam akan lebih langgeng daripada seluruh kenikmatan dunia. Masih dengan penolakanya yang halus ia menjawab, 

"Sesungguhnya saya tidak pantas menolak orang yang seperti engkau, wahai Abu Thalhah. Hanya sayang engkau seorang kafir dan saya seorang muslimah. Maka tak pantas bagiku menikah denganmu. Coba Anda tebak apa keinginan saya?"

"Engkau menginginkan dinar dan kenikmatan," kata Abu Thalhah. "Sedikitpun saya tidak menginginkan dinar dan kenikmatan. Yang saya inginkan hanya engkau segera memeluk agama Islam," tukas Ummu Sualim tandas.

"Tetapi saya tidak mengerti siapa yang akan menjadi pembimbingku?" Tanya Abu Thalhah. "tentu saja pembimbingmu adalah Rasululah sendiri," tegas Ummu Sulaim.

Maka Abu Thalhah pun bergegas pergi menjumpai Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam yang mana saat itu tengah duduk bersama para sahabatnya. Melihat kedatangan Abu Thalhah, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam berseru, "Abu Thalhah telah datang kepada kalian, dan cahaya Islam tampak pada kedua bola matanya."

Ketulusan hati Ummu Sulaim benar-benar terasa mengharukan relung-relung hati Abu Thalhah. Ummu Sulaim hanya akan mau dinikahi dengan keislamannya tanpa sedikitpun tegiur oleh kenikmatan yang dia janjikan. Wanita mana lagi yang lebih pantas menjadi istri dan ibu asuh anak-anaknya selain Ummu Sulaim? Hinnga tanpa terasa di hadapan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam lisan Abu Thalhah basah mengulang-ulang kalimat, "Saya mengikuti ajaran Anda, wahai Rasulullah. Saya bersaksi, bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusanNya."

Ummu Sulaim tersenyum haru dan berpaling kepada anaknya Ana, "Bangunlah wahai Anas."

Menikahlah Ummu Sulaim dengan Abu Thalhah, sedangkan maharnya adalah keislaman suaminya. Hingga Tsabit –seorang perawi hadits- meriwayatkan dari Anas, "Sama sekali aku belum pernah mendengar seorang wanita yang maharnya lebih mulia dari Ummu Sulaim, yaitu keislaman suaminya." Selanjutnya mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang damai dan sejahtera dalam naungan cahaya Islam.

Abu Thalhah sendiri adalah seorang konglomerat nomor satu dari kabilah Anshar. Dan harta yang paling dia cintai yaitu tanah perkebunan "Bairuha". Tanah perkebunan itu letaknya persis menghadap masjid. Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah minum air segar yang ada di lokasi itu, sampai kemudian turun ayat yang berbunyi:

"Sekali-kali belum sampai pada kebaktian yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai." (Ali Imran:92)

Mendengar ayat ini, kontan Abu Thalhah menghadap Rasulullah. Setelah membacakan ayat tadi Abu Thalhah melanjutkan, "Dan sesungguhnya harta yang paling saya cintai adalah tanah perkebunan Bairuha. Saat ini tanah itu saya sedekahkan untuk Allah dengan harapan akan mendapatkan ganjaran kebaikan dari Allah kelak. Maka pergunakanlah sekehendak Anda, wahai Rasulullah."

Dan bersabdalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, "Bakh, bakh itu adalah harta yang menguntungkan dan saya telah mendengar perkataanmu tentang harta itu dan saya sekarang berpendapat sebaiknya engkau bagi-bagikan tanah itu untuk keluarga kalian."

Abu Thalhah pun menuruti perintah Rasululah dan membagi-bagikan tanah itu kepada sanak familinya dan anak keturunan pamannya. Tak berapa lama Alah memuliakan seorang anak laki-laki kepada pasangan berbahagia itu dan diberi nama Abu Umair. Suatu kali burung kesayangan Abu Umair mati sehingga Abu Umair menangis dengan sedih. Saat itu lewatlah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam di hadapannya. Melihat kesedihan Abu Umair, Rasulullah segera menghibur dan bertanya, "Wahai Abu Umair apa gerangan yang diperbuat oleh burung kecil?"

Namun takdir Allah memang tak mampu diduga. Allah subhanahu wa ta’ala kembali ingin menguji kesabaran pasangan sabar ini. Tiba-tiba saja, bocah mungil mereka Abu Umair jatuh sakit sehingga ayah dan ibunya dibuat cemas dan repot. Padahal ia adalah putra kesayangan Abu Thalhah. Jika ia pulang dari pasar, yang pertama kali ditanyakan adalah kesehatan dan keadaan putranya dan ia belum mereasa tenang bila belum melihatnya. Tepat pada waktu sholat, Abu Thalhah pergi ke masjid. Tak lama setelah kepergiannya, putranya Abu Umair menghembuskan nafas terakhir.

Ummu Sulaim memang seorang ibu mukminah yang sabar. Ia menerima peristiwa itu dengan sabar dan tenang. Ummu Sulaim lantas menidurkan putranya di atas kasur dan berujar berulang-ulang, "Innaa lillahi wa inna ilaihi rrji’un." Dengan suara berbisik ia berkata kepada sanak keluarganya, "Jangan sekali-kali kalian memberitahukan perihal putranya pada Abu Thalhah sampai aku sendiri yang memberitahunya."
Sekembalinya Abu Thalhah, alhamdulillah, air mata kesayangan Ummu Sulaim telah mongering. Ia menyambut kedatangan suaminya dan siap menjawab pertanyaannya.

"Bagaimana keadaan putraku sekarang?"

"Dia lebih tenang dari biasanya." Jawab Ummu Sulaim dengan wajar.

Abu Thalhah merasa begitu letih hingga tak ada keinginan menengok putranya. Namun hatinya turut berbunga-bunga mengira putranya dalam keadaan sehat wal afiat. Ummu Sulaim pun menjamu suaminya dengan hidangan yang istimewa dan berdandan serta berhias dengan wangi-wangian, membuat Abu Thalhah tertarik dan mengajaknya tidur bersama.

Setelah suaminya terlelap, Ummu Sulaim memuji kepada Allah karena berhasil menentramkan suaminya perihal putranya, karena ia menyadari Abu Thalhah telah mengalami keletihan seharian, sehingga ia amembiarkan suaminya tertidur pulas.

Menjelang subuh, baru Ummu Sulaim berbicara pada suaminya, seraya bertanya, "Wahai Abu Thalhah apa pendapatmu bila ada sekelompok orang meminjamkan barang kepada tetangganya lantas ia meminta kembali haknya. Pantaskan jika si peminjam enggan mengembalikannya?"

"Tidak," jawab Abu Thalhah.

"Bagaimana jika si peminjam enggan mengembalikannya setelah menggunakannya?" "Wah, mereka benar-benar tidak waras," Abu Thalhah menukas.

"Demikian pula putramu. Allah meminjamkannya pada kita dan pemiliknya telah mengambilnya kembali. Relakanlah ia," kata Ummu Sulaim dengan tenang. Pada mulanya Abu Thalhah marah dan membentak, 

"Kenapa baru sekarang kau beritahu, dan membiarkan aku hingga aku ternoda (berhadats karena berhubungan suami istri)?"

Dengan rasa tabah Ummu Sulaim tak henti-henti mengingatkan suaminya hingga ia kembali istirja dan memuji Allah dengan hati yang tenang.

Pagi-pagi buta sebelum cahaya matahari kelihatan penuh, Abu Thalhah menjumpai Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian itu. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, 

"Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan barakah pada malam pengantin kalian berdua."

Benar saja Ummu Sulaim lantas mengandung lagi dan melahirkan seorang anak yang diberi nama Abdullah bin Thalhah oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Dan subhanallah barakahnya ternyata tak hanya sampai di situ. Abdullah kelak di kemudian hari memiliki tujuh orang putra yang semuanya hafizhul Qur’an. Keutamaan Ummu Sulaim tidak hanya itu, Allah subhanahu wa ta’ala juga pernah menurunkan ayat untuk pasangan suami istri itu dikarenakan suatu peristiwa. Sampau Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menggembirakannya dengan janji surga dalam sabdanya

"Aku memasuki surga dan aku mendengar jalannya seseorang. Lantas aku bertanya "Siapakah ini?" Penghuni surga spontan menjawab "Ini adalah Rumaisha binti Milhan, ibu Anas bin Malik."

Selamat untukmu Ibunda Anas!

Dicopy dari Situs Jilbab Online - Penulis : Tami